Fathin Najla – Novelis/Pegiat APIMU
PWMU.CO – Persoalan perizinan tambang dan Muhammadiyah masih memenuhi lini massa. Pernyataan PP Muhammadiyah dalam hasil konsolidasi nasional untuk menerima izin pengelolaan tambang membuat banyak warga Muhammadiyah tercengang, tidak lain karena banyaknya yang berharap Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam praktik tersebut.
Hal tersebut bukan berarti tidak mendasar, masyarakat menganggap bahwa mencintai Muhammadiyah salah satu manifestasinya adalah dengan mencintai lingkungan. Sedangkan kegiatan tambang sendiri pasti menimbulkan banyak kerusakan. Respon masyarakat pun sangat beragam, mulai dari menyayangkan keikutsertaan Sang Surya dalam praktik pertambangan dan ada pula yang menantikan gebrakan kemaslahatan apa yang akan dibawa Muhammadiyah nanti.
Mengutip salah satu ungkapan aktivis lingkungan yang pernah disampaikan, Dhandy Laksono mengatakan “Tidak ada dalam sejarah kota tambang yang sejahtera pasca penambangan”. Hal tersebut mendakan bahwa kegiatan penambangan memang selalu identik dengan segala dampak negatif daripada kebermanfaatan. Bahkan dalam sosial media, ramai para stakeholder Muhammadiyah di berbagai daerah menyuarakan kekecewaannya dengan keputusan ini, tidak lain karena mereka semua tidak ingin Muhammadiyah menjadi salah satu pisau yang melukai hati rakyat. Sehingga wajar jika muncul pertanyaan, sebenarnya Muhammadiyah sedang membela siapa?
Meski penerimaan pengelolaan izin tambang tersebut didasari dengan 9 komitmen yang telah dirilis di akun resmi Muhammadiyah, hal demikian tidak lantas dapat meredam kekecewaan masyarakat terhadap pilihan Muhammadiyah. Hal ini juga cukup sengit diperbincangkan dalam internal Muhammadiyah sendiri, terbentuk kolektif yang mendukung adapula yang memilih menyudahi keterlibatannya dalam perkaderan Muhammadiyah sebagai bentuk penolakan dan protes. Resistensi sudah mulai nampak terjadi di berbagai jajaran persyarikatan.
Salah satu protes tegas yang ditulis dalam kolom komentar akun resmi Muhammadiyah dari salah satu perwakilan PCA Wanasari menyampaikan “Kami dari Pimpinan Cabang Aisyiyah Wanasari memprotes keras atas keputusan PP Muhammadiyah yang menerima kelola tambang dari pemerintah. Sebagai bentuk protes, berdasarkan keputusan rapat dengan seluruh anggota PCA, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pendirian TK ABA pertama di Kecamatan kami. Kami juga menghentikan sementara aktivitas-aktivitas, yang berhubungan dengan Kemuhammadiyahan seperti Baitul Arqam se- Wanasari sampai PP Muhammadiyah mengubah keputusannya untuk menolak kelola tambang yang berpotensi merusak alam”. Komentar tersebut hanya segelintir dari ratusan komentar senada lainnya yang ditulis oleh warga persyarikatan dengan jempol kemarahannya.
Selanjutnya ada pula warga yang memberikan komentar dalam bentuk pendapat subjektifnya untuk bersedia memberikan pengawalan terhadap keputusan Muhammadiyah “Mari kita kawal apa yang sudah diputuskan. Menolak dan mendukung sama-sama tanda cinta terhadap Muhammadiyah”, ditulis oleh akun abdad_m.y. Komentar tersebut juga banyak diamini oleh netizen dengan menunjukkan reaksi kesepakatan.
Kita ketahui bersama Muhammadiyah adalah ormas besar Negara yang setiap tindakan dan keputusannya sangat berpengaruh signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekecewaan dan protes tegas yang terhimpun haruslah menjadi bahan untuk Muhammadiyah dapat merefleksikan kembali keputusan tersebut. Sebab, Muhammadiyah adalah milik seluruh elemen yang hingga hari ini masih teguh untuk membesarkan dakwah Muhammadiyah. Lantas, patutkah jika akhirnya sang surya digelari tumbang ke dalam tambang?
Tambang dan Urgensi Kesejahteraan
Berbicara mengenai dakwah Muhammadiyah erat sekali hubungannya dengan kesejahteraan. Muhammadiyah telah berkiprah dalam berbagai bidang. Tak lain beberapa diantaranya adalah bidang Pendidikan dan kesehatan yang begitu massif bergerak hingga tataran akar rumput. Kita tak akan sulit menemukan bukti dakwah Muhammadiyah di seluruh negeri, hampir tak ada satu jengkal pun kehidupan tanpa keterlibatan Muhammadiyah, tanpa tambang Muhammadiyah telah berjaya dan bermaslahat sejak lama.
Kini keberpihakan Muhamadiyah terhadap perizinan pengelolaan tambang akan menjadi otoritas yang dipertanyakan, kemaslahatan apa lagi yang hendak dicari? Kesejahteraan mana lagi yang hendak dikejar? Muhammadiyah sudah jauh dan pesat membangun, bahkan nihil kecacatan. Banyak peran Negara yang justru Muhammadiyah hadirkan, yang tentunya membuat kepercayaan masyarakat terhadap Muhammadiyah sangat utuh, kini terancam luntur.
Jika ditelaah dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh (Sunarti, 2012), urgensi kesejahteraan adalah sebuah tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, Muhammadiyah sudah jauh melakukan seluruh hal tersebut secara proaktif dan efisien sejak dulu tanpa tambang.
Muhammadiyah harus melihat ke bawah, kepada kader-kadernya yang juga banyak sekali terlibat dalam issue lingkungan dan ekologi, yang hingga hari ini masih konsisten mengawal berbagai persoalan dan dampak yang dirasakan dari adanya tambang untuk masyarakat. Dengan banyaknya pakar yang mengkaji kegiatan pertambangan, dengan banyaknya literature yang meneliti tentang dampak tambang yang merusak, Muhammadiyah tentunya harus mampu menggunakan kacamata yang objektif untuk mengambil keputusan.
Setiap keputusan tentu memiliki konsekuesni, Muhammadiyah hari ini harus siap menghadapi oposisi yang berasal dari tubuhnya sendiri. Muhammadiyah hari ini harus siap menghadapi kritik dan caci maki, sebab Muhammadiyah adalah kepunyaan seluruh warga persyarikatan. Urusan tambang tidak bisa dinormalisasi, maka Muhammadiyah berhak diadili oleh seluruh masyarakat yang peduli pada bumi.
Editor Teguh Imami