Muhsin MK
Muhsin MK – Pegiat Sosial
PWMU.CO – Menjadi difabel bukanlah kehendak seorang manusia. Difabel atau berkebutuhan khusus bukan juga karena diminta. Namun bila realitasnya mengalami difabel tentu tidak perlu disesali. Memang ada juga yang menyesali. Namun, seseorang menjadi difabel atau tidak, tak terlepas dari kehendak Allah Swt.
Meskipun dalam keadaan difabel, keberadaan manusia haruslah diperlakukan yang sama. Apalagi dihadapan Allah Swt, difabel atau tidak semua sama sama hamba Nya. Perbedaannya terletak pada ketaqwaan nya. (Al Hujurat:13). Karena itu orang difabel memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam memperoleh pendidikan.
Keberadaan pendidikan inklusi
Dewasa ini pendidikan semakin terbuka dan merdeka. Keterbukaan di sini bukan berarti buka bukaan, sehingga serba boleh. Keterbukaan maksudnya, pendidikan terbuka buat siapa saja. Orang kaya atau miskin, difabel atau tidak difabel sama sama bisa mendapatkannya. Tidak bisa dibedakan bedakan.
Merdeka dalam pendidikan yang diberikan dewasa ini juga bukan berarti kebebasan yang sebebas bebasnya. Merdeka itu artinya semua orang mempunyai hak yang sama dalam pendidikan. Tidak ada yang didiskriminasi dan dibatasi dalam mendapatkan pendidikan, sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Karena itulah Allah Swt pernah menegur Nabi Muhammad Saw pada saat beliau tidak memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang difabel tuna netra. Saat itu Nabi Muhammad sedang melayani orang orang terhormat. (Abasa:1-10).
Namun setelah teguran itu nabi Muhammad Saw sedemikian perduli pada kaum difabel untuk mendapatkan pendidikan dan penghargaan yang sama. Semua difabel seperti Abdullah bin Ummi Maktum yang tuna netra, Amir bin Jamuh dan Abdullah bin Mas’ud yang tuna daksa. Mereka dapat duduk bersama di majlis ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka semua menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang saling berkasih sayang. (Al Fathir:29).
Bahkan mereka yang tuna wisma dan tuna sosial pun mendapatkan pendidikan yang sama dalam majlis ilmu Nabi Muhammad di masjid Nabawi Madinah. Mereka yang disebut Ahlus Suffah. Diantara mereka adalah Abu Hurairah. Abu Dzar Al-Ghifari, Watsila bin Asqa’ dan Salman Al Farisi. Abu Hurairah dikenal sebagai penghafal hadits Nabi yang cukup banyak.(Al Manhaj.or.id)
Lembaga dan aktifitas pendidikan inklusi Nabi Muhammad tempatnya di masjid Nabawi Madinah. Pendidikan inilah yang menjadi inspirasi ummat Islam untuk mendirikan sekolah dan lembaga pendidikan ecklusi atau inklusi.
Pendidikan inklusi yang berkembang
Di Indonesia pendidikan inklusi mulai tumbuh dan berkembang di masa reformasi. Masa sebelumnya pendidikan masih terpisah antara sekolah difabel yang dikenal dengan nama Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan sekolah biasa, tingkat SD, SMP dan SMA. Kalau Universitas sudah ada, khususnya bagi mahasiswa tuna netra dan tuna daksa.
SLB pun berbeda beda macamnya sesuai dengan jenis anak difabel atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)-nya. Jeni sekolahnya antara lain SLB Tuna netra, SLB Tuna rungu dan wicara, SLB Tuna Grahita, SLB Tuna Daksa dan lain lain. Hingga kini SLB masih ada. Namun setelah diselenggarakan pendidikan inklusi, anak anak difablel mulai masuk ke sekolah tersebut.
Beberapa pesantren juga membuka Pendidikan inklusi buat anak anak difabel atau ABK. Anak anak tuna grahita pun bisa diterima sebagai santri dan santriwatinya. Hanya saja ada yang membedakan asramanya dari santri yang non ABK. Mereka disediakan tempat khusus dengan ruangan yang terpisah. Satu kamar satu ABK ditemani pendamping atau pembimbingnya. (Pesantren Arafah Cililin, KBB).
Lembaga pendidikan yang berada di bawah Ormas Islam pun telah membuka pendidikan inklusi yang menggabungkan anak didiknya yang ABK dan biasa dalam kelas kelas yang sama. Baik Muhammadiyah maupun Ormas Islam lainnya memberikan kesempatan kepada ABK untuk belajar di sekolah inklusi yang berada di bawah naungannya.
Hanya saja jumlah ABK yang diterima dan belajar bersama dengan murid dan santri biasa dibatasi hanya beberapa anak saja. Sebab anak difabel khususnya tuna grahita memerlukan perhatian dan pendampingan secara khusus. Tiap satu atau dua anak perlu guru pendamping atau disebut sedow (shadow teacher). (bentaracampur.ac.id) Adanya guru ini tentu diperlukan tambahan tenaga termasuk biaya khusus dan psikolog yang membantu bila timbul masalah yang mereka hadapi.
Demikian pula pesantren inklusi memerlukan perhatian khusus baik dalam pendampingan ABK selama berada di lembaga pendidikannya. Pembangunan asrama ABK yang khusus dan terpisah berserta pendampingnya yang selalu siap 24 jam bersamanya. Pendampingpun harus memiliki kemampuan dan keterampilan khusus. Termasuk membimbing ABK dalam ibadah, baca dan hafal Al-Qur’an, serta pengetahuan ke Islaman lainnya.
Keberadaan masjid di sekolah dan pesantren inklusi memberikan kemaslahatan tersendiri bagi ABK dan pendampingnya. Di masjid ini tempat menanamkan dan mendidik beribadah langsung dan adab adab masjid dan sholat berjamaah. Termasuk dalam mengajarkan mereka tahsin dan tajfidz Al Qur’an. Bagi ABK mempelajari Al Qur’an dapat membantu mereka dalam memperkuat jiwanya, mental dan agamanya.
Problematika pendidikan inklusi
Beberapa problematika yang dihadapi sekolah dan pesantren inklusi khususnya yang diselenggarakan lembaga swasta, berikut ini.
Pertama, memerlukan persiapan yang matang bila hendak membuka pendidikan inklusi yang benar benar siap dan memenuhi kebutuhan ABK dalam proses pembelajaran dan sara prasarana yang dibutuhkan. Sebab tidak jarang ABK yang belajar di sekolah dan pesantren inklusi adalah anak anak orang berada. Mereka tentu berharap kualitas pendidikan yang diberikan lebih baik.
Kedua, mendapatkan shadow teacher atau pendamping ABK di sekolah dan pesantren inklusi yang sarjana pendidikan tidaklah mudah. Apalagi memiliki ilmu dan keterampilan khusus yang membantu proses pembelajaran dan pendidikan ABK. Selain itu mereka yang bersedia menjadi shadow teacher yang berpendidikan tinggi itu perlu bayaran besar. Sementara lembaga penyelenggara pendidikannya pihak swasta yang bertumpu pada hasil pemasukan bayaran sekolah.
Ketiga, lulusan dari lembaga pendidikan inklusi menghadapi masalah pada saat hendak melanjutkan sekolahnya. Baik yang ABK atau non ABK lulusan inklusi masih dipandang sebelah mata oleh lembaga pendidikan lanjutan termasuk orang tua dan masyarakat. Orang tua non ABK cenderung tidak ingin anaknya sekolah bersama ABK. Masyarakat belum memiliki pandangan yang sama tentang ABK. Mereka masih melihat sebagai anak cacat dan dibedakan dengan anak anak biasa.
Editor Teguh Imami