Oleh Teguh Imami – Tim Penulis Buku Sang Surya di Jawa Dwipa: Jejak Kiai Dahlan di Jawa Timur
PWMU.CO – Tiada kebesaran tanpa goresan masa lalu. Sebesar apa pun peradaban tercipta, tanpa adanya tulisan tinta, ia akan runtuh tenggelam oleh sejarah. Muhammadiyah sebagai organisasi dengan amal usaha terbesar di dunia pun begitu. Mungkin generasi hari ini masih mengingat kenangan itu, tetapi 2–3 generasi mendatang mungkin akan lupa jika tidak ada catatan.
Hingga hari ini, belum ada catatan maupun tulisan tentang jejak Kiai Dahlan di Jawa Timur. Jejak pendiri persyarikatan Muhammadiyah itu masih tercatat rapi di cerita-cerita (oral history) setiap anak aktivis Muhammadiyah yang dulu berjuang pada awal pendirian Muhammadiyah. Selain itu, sedikit juga ada beberapa peninggalan Kiai Dahlan di daerah Ponorogo, Malang, Surabaya, Banyuwangi, Madiun, dan Pasuruan, yang masih tersimpan rapi. Cerita-cerita itu belum tertulis dalam buku.
Setiap berkunjung ke daerah, perjalanan Kiai Dahlan tidak terlepas dari empat hal: kereta api, berdagang, berdakwah, dan silaturahmi. Sambil berdakwah dari masjid ke masjid, Kiai Dahlan melebarkan sayap dakwah persyarikatan. Setelah berdakwah, beliau datang ke pasar yang tidak jauh dari stasiun untuk berdagang batik dan sarung.
Perjalanan KH Ahmad Dahlan di Jawa Timur
Kali pertama Kiai Dahlan datang ke Surabaya pada tahun 1916. Saat itu, beliau datang ke Surabaya dan bertemu dengan HOS Tjokroaminoto, Soekarno muda, dan beberapa tokoh lain. Di Surabaya, beliau berdakwah dari masjid ke masjid hingga akhirnya berhasil mengajak Mas Mansur untuk bergabung ke Muhammadiyah. Embrio kebaikan ini akhirnya cepat menyebar ke berbagai kota di Jawa Timur.
Kehadiran Muhammadiyah di Malang dibawa langsung oleh Kiai Dahlan. Pada awalnya, beliau berdagang di Malang karena memang Kiai Dahlan sudah dikenal lama sebagai seorang pedagang kain batik yang menjual barang dagangannya ke beberapa kota di daerah Jawa Timur. Bertemulah Kiai Dahlan dengan Saeroji di Kepanjen dan Aspari di Sumberpucung, akhirnya perkembangan Muhammadiyah di Malang juga menyebar dengan cepat.
Saat di Ponorogo, beliau berdakwah di Langgar Wetan Pasar dan Kiai Dahlan menjalankan salat di sana. Keluarga Kasan Muhammad, Karso Diwirjo, dan Ali Diwirjo melihat secara langsung Kiai Dahlan, seperti yang telah diinformasikan. Dalam pengajian malam hari di Kauman, Pemuda Wetan Pasar hadir, begitu pula umat Islam Ponorogo. Setelah mengikuti pengajian malam hari di Kauman, Kasan Muhammad bertemu dengan Kiai Dahlan. Berdiskusi menyampaikan kondisi masyarakat Ponorogo dan keinginannya mendirikan Muhammadiyah.
Pertemuan ditindaklanjuti. Karso Diwirjo menjadi utusan ke Yogyakarta untuk sowan kepada Kiai Dahlan. Karso diterima dengan akrab. Ditunjukkan dengan makan kembul bujono. Makan sepiring berdua tanda persaudaraan. Dalam silaturahmi tersebut, Kiai Dahlan memberikan pengarahan dan syarat pendirian Muhammadiyah Ponorogo. Di antaranya, tujuh orang pengurus dan minimal 20 anggota.
Sepulang dari Yogyakarta, Karso Diwirjo mengumpulkan orang-orang yang bersedia menjadi pengurus dan anggota. Setelah mendekati beberapa orang, akhirnya terkumpul tujuh pengurus dan 22 anggota. Nama-nama itu lantas dikirimkan ke Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta untuk pengesahan. Tak berapa lama terkirim surat balasan berisi pengesahan berdirinya Group Bestuur (Ranting Muhammadiyah) Ponorogo Nomor 22 tanggal 22 bulan 2 tahun 1922.
Tidak jauh berbeda dengan kisah di Ponorogo, Kiai Dahlan di Madiun juga memiliki kisah yang hampir sama. Kiai Dahlan mengisi tabligh akbar di Madiun. Tabligh akbar itu dilaksanakan di pendopo kabupaten dengan format forum terbuka yang bisa diikuti siapa pun. Banyak masyarakat yang terkesima dan akhirnya banyak yang bergabung dengan Muhammadiyah.
Kiai Dahlan ke Banyuwangi dua kali: tahun 1919 dan 1922. Sambil berdakwah, juga berbisnis batik dan singgah di rumah kerabat atau warga. Saat mengisi pengajian pada kedatangan 1919, banyak orang yang tertarik dengan dakwah yang dibawakannya sehingga ada orang yang tidak suka. “Kalau datang lagi, akan saya bunuh,” begitu katanya dalam penjelasan singkat.
Kiai Dahlan tidak takut, sebaliknya malah datang lagi ke Banyuwangi pada 1922. Beliau berdakwah lagi kepada masyarakat Banyuwangi, bahkan turut membawa istrinya. Orang yang ingin membunuh tadi semakin penasaran, hingga suatu saat dia mencoba ikut kajian Kiai Dahlan. Tak dinyana, tak disangka. Atas izin Allah Swt, orang ini bukan semakin membenci Kiai Dahlan, sebaliknya malah menyatakan ikrar ikut Muhammadiyah dan menjadi pelopor gerakan Muhammadiyah di Banyuwangi.
Beberapa bulan sebelum wafat, Kiai Dahlan tetirah di Pasuruan. Tetirah adalah istirahat. Beliau beristirahat atas saran dokter karena untuk menjaga kesehatan beliau yang semakin mencemaskan. Tetirah beliau pada 29 November 1922 dan wafatnya pada 23 Februari 1923.
Pilihan Kiai Dahlan, yang ternyata juga berdasarkan saran tim dokter, adalah Tosari, Pasuruan, daerah sekitar lereng Gunung Bromo. Tempat yang asri, sejuk, nan menenteramkan. Ke Tosari, beliau diantar oleh anggota HB Muhammadiyah yang ditentukan, Fachruddin dan M. Abdullah. Kiai Dahlan dan Nyai Walidah pun berangkat ke lokasi yang dituju. Kiai Dahlan diminta untuk istirahat agar sembuh.
Bukan namanya Kiai Dahlan kalau tidak menyebarkan kebaikan. Di Tosari, bukannya istirahat, beliau malah aktif berdakwah di sana. Sebab, beliau melihat daerah tersebut adalah tempat prostitusi bikinan Belanda dan masyarakat semakin lama semakin gerah.
Beliau pun, bersama warga sekitar, mendirikan musala (dulu namanya langgar Kiai Dahlan, kini berganti) dan aktif menyebarkan Islam. Bahkan dalam pendirian langgar itu, beliau ikut membantu pendiriannya. Sakitnya tidak dirasa. Dari dakwah Kiai Dahlan, banyak warga yang kembali “menjadi orang baik”.
Beberapa waktu setelahnya, utusan Pengurus Besar Muhammadiyah menjemput Kiai Dahlan untuk kembali ke Yogyakarta. Saat menjemput, utusan itu melihat kondisi kesehatan Kiai Dahlan yang semakin memburuk. Semakin sakit. Dan tidak lama, beliau wafat pada 23 Februari 1923. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan amal jariahnya bisa mencerahkan semesta.
Dalam catatan sejarah, jejak panjang perjalanan Kiai Dahlan di Jawa Timur terekam di beberapa daerah. Hal itu dapat dijumpai diantaranya di kota Surabaya, Malang, Ponorogo, Madiun, Banyuwangi, Pasuruan. Dalam perjalanan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan ada banyak agenda yang dilakukan, apa saja? Temukan jawabannya dalam buku ini.
Tentang Buku Sang Surya di Jawa Dwipa
Buku ini merupakan hasil penelitian dari Sejarawan Muda Muhamamdiyah Jawa Timur. Ditulis lulusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Ada Azrohal Hasan, Teguh Imami, Miftahul Muslim, Wildan Nanda, dan Ni’matul Faizah. Sejak 2021 hingga 2024, mereka keliling ke daerah-daerah untuk meneliti, melakukan wawancara, mengumpulkan arsip, artefak, dan surat-surat lama. Hampir setiap pekan hasil penelitian kami langsung di FGD-kan bersama Prof Purnawan Basundoro, Guru Besar bidang sejarah Unair. Meskipun buku ini hasil penelitian sejarah, namun ditulis dengan bahasa renyah, sederhana, dan bisa dinikmati semua kalangan. Selamat membaca!
Adanya buku sejarah perjalanan Kiai Dahlan di Jawa Timur akan mempermudah ingatan kolektif masyarakat terkait kebesaran Kiai Dahlan. Juga akan memberikan inspirasi tentang semangat juang Kiai Dahlan untuk berdakwah kepada masyarakat waktu itu. Ada banyak cerita menarik yang diangkat dan perlu. Ini menjadi khazanah ilmu di tengah masih sedikitnya tulisan-tulisan sejarah Muhammadiyah. Semoga setelah ini lahir buku-buku baru dari sejarah lokal setiap daerah. Aamiin. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah