Edi Purwanto
Edi Purwanto – Pemerhati Lingkungan/MPID PWM Jatim
PWMU.CO – Andaikan Presiden Joko Widodo tidak memberi konsesi tambang, Muhammadiyah dan NU, akan jauh dari hujatan dan maki-makian. Media sosial akan tetap dingin, riuh rendah tentang ingar bingar dunia politik. Dunia tambang akan baik-baik saja tanpa kehadiran NU dan Muhammadiyah.
Andai konsesi tambang tidak diberikan kepada NU dan Muhammadiyah, tambang-tambang batu bara tetap dikeruk hingga 100 tahun ke depan. Tambang-tambang nikel dikuasai China, tambang-tambang emas dikuasai Freeport, tambang-tambang pasir dikuasai para pemilik modal atau seluruh tambang itu dikuasai kapitalisme global.
Andai Muhammadiyah tidak menerima tambang pun, tambang-tambang emas tetap dikeruk oleh tangan-tangan korporasi dunia. Tambang-tambang batu bara, nikel, kobalt, pasir besi, galian C akan tetap ditambang oleh manusia.
Andai NU dan Muhammadiyah bersatu menolak tambang pun, dunia pertambangan tetap bergerak disokong kapitalisme global. Freeport-McMoRan Inc sudah menambang Papua sejak tahun 1967. PT Newmount Nusa Tenggara akan terus mengeruk bumi Sabalong Samalewa. Masih ada PT Aneka Tambang, PT Agincourt Resources, PT Nusa Halmahera Minerals, PT Bumi Suksesindo, dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Andai NU dan Muhammadiyah menerima tambang, dunia pertambangan tetap berjalan baik-baik saja. Korporasi besar tetap beroperasi meski para santri akan menimbrung dengan menjadi karyawan, supervisor, komisaris, dan direktur utama. Tambang emas, batu bara, nikel, Pemulihan tambang-tambang akan dilakukan dan semestinya menjadi hijau kembali.
Andai Muhammadiyah itu NU, Kehidupan saling mengkritik antara warga dengan pimpinan seperti tidak pernah terjadi. Tidak ada orang Muhammadiyah yang menghina kiainya. Tidak ada santri yang ngelunjak kepada kiai dan pemimpinnya. Andai Muhammadiyah itu NU, pasti tidak ada yang menyamakan para ulamanya dengan hewan. Santri harus takzim kepada kiainya.
Muhammadiyah memang bukan NU meski pendirinya adalah dua kiai besar yang sama-sama nyantri kepada Kiai Haji Sholeh Darat as Samarani. Muhammadiyah memiliki kultur berbeda. Sangat jarang kita melihat santri yang mencium tangan kiainya. Sangat jarang pula melihat santri berjalan munduk-munduk di depan kiai.
Memang itulah kelebihan Persyarikatan Muhammadiyah. Pengurusnya beragam profesi. Ada pengusaha, saudagar, dosen, profesor, doktor, wartawan, dokter, perawat, petani, kuli, satpam, pembantu rumah tangga, mahasiswa, dan beragam profesi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya memimpin ratusan profesor? Bisa dibayangkan bagaimana susahnya memimpin para doktor? Memimpin Muhammadiyah sama halnya memimpin sebuah negara. Setiap keputusan pasti tidak dapat menyenangkan salah satu pihak.
Setiap keputusan pasti tidak bisa menyenangkan banyak profesor atau doktor itu. Kata Cak Nun, dalam esainya, Jejak Tinju Pak Kiai, ada banyak beragam variable dalam kehidupan manusia termasuk dalam organisasi. Ada orang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Ada orang mengucapkan tapi tak melakukan. Ada yang melakukan tapi tak mengucapkan. Ada yang tak mengucapkan dan tak melakukan.
Ada orang perang dengan berbekal semangat dan keyakinan untuk menang, dengan menghitung cuaca, medan dan musuh. Ada orang perang sangat teliti menyelidiki kekuatan cuaca, medan dan musuh sehingga tidak sempat menghitung kekuatan dan kelemahannya sendiri.
Ada orang perang sibuk membanggakan kehebatannya sehingga merasa tidak perlu memperhitungkan lawan. Ada orang perang yang atas musuh tak berhitung dan atas dirinya sendiri juga tak berhitung. Ada orang yang sangat khusyuk dengan prinsip dan idealismenya dan sangat sungguh-sungguh memikirkan strategi terapan prinsipnya. Ada orang yang total pegang prinsip sampai tak punya energi dan waktu untuk memikirkan bagaimana menerapkannya.
Ada orang yang habis usianya untuk tata kelola dan tata terapan sampai tidak ada prinsip yang tersisa di dalam dirinya. Ada orang yang tak peduli pada prinsip dan tak sungguh-sungguh melaksanakan apapun…, dengan segala variabelnya.
Apa yang disampaikan Cak Nun seolah menegaskan kembali ciri-ciri Manusia Indonesia yang disampaikan Mochtar Lubis pada 1967. Mochtar Lubis menyebut manusia Indonesia, memiliki ciri munafik, segan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, berkarakter lemah, boros, suka jalan pintas, kurang kritis terhadap informasi, kurang disiplin, tidak suka antre, dan kurang peduli pada lingkungan.
Andai kita meresapi apa yang disampaikan Cak Nun dan Mochtar Lubis. Kita pasti menempatkan setiap masalah pada tempatnya. Santri-santri bertabayun kepada kiainya. Setiap masalah mendapat tempat duduk dan dicarikan solusinya di atas meja musyawarah. Setiap perbedaan pandangan pasti ada jalan dan solusinya.
Andai Muhammadiyah itu NU, suara-suara sumbang atas keputusan tambang berganti menjadi dawuh; “Siap pak Kiai.” Namun, di dunia yang penuh variabel ini, Muhammadiyah tetaplah Muhammadiyah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Editor Teguh Imami