PWMU.CO – Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (MTT PWM) Jawa Timur telah diskusi bersama, Selasa (6/8/2024). Dalam kegiatan yang dilakukan via Zoom Meeting ini, MTT PWM Jatim mendiskusikan perkara kebolehan wanita sebagai penghulu.
Perkara tersebut muncul dalam pertanyaan dari salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Dia mempertanyakan bagaimana status perempuan dalam perkara penghulu, apakah dia boleh menikahkan orang lain?
“Jika menarik akar masalahnya ada pada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) apakah boleh seorang perempuan. Persoalannya adalah jika Kepala KUA tersebut perempuan, kemudian menjadi wali hakim dalam pernikahan,” jelas Prof Uril Wakil Ketua MTT PWM Jawa Timur.
Dalam hadits, Rasulullah saw sudah menyebutkan terkait apakah perempuan itu boleh menikahkan orang lain.
“Nabi menyebutkan dalam hadits riwayat dari Ibnu Majah, yang artinya: Dari Abu Hurairah -Ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.”jelasnya.
Diskusi berlangsung dengan padat dan membawa beberapa topik yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah bagaimana perempuan bisa berkarir di KUA, bahkan menjadi ketuanya. Ini termasuk dalam salah satu bentuk kesetaraan gender.
Penghulu Menurut Prof Zainuddin MZ
Meski demikian, Prof Zainuddin MZ menjelaskan bahwa perempuan tetap tidak bisa menjadi wali hakim dalam pernikahan. Dr Syamsuddin sependapat dengan pendapat Prof Zainuddin MZ. Dia memaparkan bahwa perempuan bisa berkarir di KUA, tapi tidak bisa menjadi wali hakim. Hal ini karena sudah pakem dari Nabi bahwa wali nikah itu harus laki-laki.
Di antara para ulama’ madzhab, wali nikah harus laki-laki. Tetapi terkait apakah perempuan boleh menikahkan ia sendiri, ada perdebatan di antara ulama’. Imam Hanafi membolehkan perempuan menjadi wali dengan syarat wanita itu sudah berpengalaman.
Dalam kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, meski ada pendapat boleh dari Imam Hanafi dengan syarat tersebut, tetapi lebih baik mencari wali yang lain.
“Sehingga hukumnya kembali ke mayoritas pendapat ulama’, yakni tidak bisa,” ujar Ketua MTT PWM Jatim, Dr H Achmad Zuhdi.
Dalam rapat MTT PWM Jatim kali ini menarik kesimpulan bahwa perempuan bisa menjadi pejabat di KUA, bahkan ketuanya. Tetapi dia tidak bisa menjadi wali atau penghulu dalam pernikahan, apalagi wali hakim. (*)
Penulis Wildan Nanda Rahmatullah Editor Syahroni Nur Wachid