Oleh Dr dr Sukadiono MM – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Ada sebuah ayat indah yang telah Allah firmankan untuk kita semua yang berkaitan dengan perintah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar melalui organisasi, yaitu di surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Dari ayat tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa Islam menganjurkan untuk berkumpul kemudian membuat suatu jamaah atau kelompok, atau yang sekarang sering kita sebut organisasi yang dengan organisasi tersebut jalan dakwah amar ma’ruf nahi munkar menjadi semakin mudah.
Sejak Muhammadiyah berdiri Kiai Ahmad Dahlan menempatkan posisi muridnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pertama, Kiai Syudja’ yang mempunyai “passion” di bidang sosial diminta mengurus PKO yang kemudian bertransformasi menjadi, Panti Asuhan, Rumah Sakit dan sebagainya. Kedua, Muhammad Sangidu pengusul nama Muhammadiyah ini, sudah aktif di dunia pendidikan sejak sebelum Muhammadiyah berdiri, Ia mengubah sekolah Islam Al Qismul Aqra tahun1932 menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah.
Pada tahun 1919, Sangidu juga mendirikan Frobelschool yang kemudian berganti menjadi nama TK ABA sekitar tahun 1940. Ketiga, Raden Haji Hadjid yang menginisiasi berdirinya Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan pertama masyarakat muslim Indonesia, Hadjid mengubah dari nama “Nam Padvinders Muhammadiyah” menjadi Hizbul Wathan di tahun 1918.
Ketiga murid Kiai Dahlan tersebut secara aktif dan loyal dalam menjalankan organisasi dengan bertujuan memperluas dakwah Islam di berbagai bidang. Kondisi bangsa indonesia yang sedang terjajah oleh kolonial, kebijakan kolonial yang membuat organisasi terbatas untuk berkembang. Muhammadiyah harus senantiasa memiliki kader-kader yang ego personalnya rendah, karena di manapun jabatan organisasi yang diemban, baik Pimpinan Ranting, Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah maupun saya di Pimpinan Wilayah harus ikhlas memperjuangkan kepentingan organisasi, membesarkan organisasi, dan menjalankan setiap hasil keputusan musyawarah organisasi.
Suatu organisasi bisa besar seperti Muhammadiyah karena nilai-nilai luhur perjuangan dan berharap ridha Allah Swt. Muhammadiyah bertumbuh sejak 1912 mengalami berbagai dinamika di setiap periode. Muhammadiyah berhasil melalui periode kolonial yang membatasi gerak Muhammadiyah, mampu melewati krisis pemerintahan Orde Lama, melewati aturan ketat organisasi masa Orde Baru, dan mengalami fase perjuangan Reformasi 1998.
Berbagai kesuksesan dalam setiap fase yang dilewati Muhammadiyah adalah bentuk perjuangan bersama seluruh jajaran organisasi, meskipun kadang ego sektoral maupun personal tetap muncul, tapi kader-kader akan sepakat apa yang dihasilkan dalam forum musyawarah, Muhammadiyah banyak belajar dari Nabi Muhammad Saw yang sukses mengelola para sahabat yang ditempatkan sesuai dengan tupoksi dan kemampuannya masing-masing.
Dalam perkembangannya, organisasi ini juga telah mengembangkan bentuk kepemimpinan partisipatoris yang belakangan kerap disebut sebagai kepemimpinan kolektif kolegial. Kepemimpinan demikian menyiratkan sekaligus mensyaratkan adanya nilai-nilai kebersamaan, pengorbanan, pengabdian, dan kebersahajaan. Kebersamaan itu tidak sekadar dalam bentuk retorika, namun dipraktikkan dalam keseharian tata kelola organisasi. Dalam konteks itu ambisi pribadi berupa kepentingan personal tersembunyi harus diendapkan dengan jalan mengedepankan dan mengutamakan kepentingan yang lebih besar dan lebih banyak manfaatnya bagi umat, bangsa, dan negara.
Istilah pengabdian yang didasarkan pada etos keikhlasan hendaknya dimaknai sebagai ikhtiar membersihkan diri dari kepentingan sesaat dan jangka pendek. Pada akhirnya egoisme berorganisasi haruslah dikesampingkan dengan jalan mengarusutamakan prinsip musyawarah sebagai basis kepemimpinan kolektif kolegial. Dengan jalan itu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian seluruhnya didasarkan pada keterbukaan dalam mendengarkan aspirasi semua pemangku kepentingan dan penerima manfaat dari semua program-program yang berkemajuan.
Dengan banyaknya program dan amal usaha yang ada di seluruh Nusantara, bahkan kini mancanegara, dibutuhkan para pengelola yang berjiwa pemimpin pengabdi (servant leader) yang memiliki komitmen kuat membangun pilar-pilar masyarakat di berbagai bidang dengan menonjolkan aspek kemaslahatan dan kebermanfaatan tanpa melanggar aturan yang berlaku. Pemimpin pengabdi membangun sistem organisasi yang rasional dan non personal – pinjam istilah Max Weber – sedemikian rupa sehingga sekali lagi keberpihakan dan loyalitas bukan pada personal, melainkan lebih kepada institusi di mana tempat mengabdi. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah