PWMU.CO – Dalam beberapa hari terakhir, di berbagai grup WhatsApp muncul diskusi yang hangat mengenai hukum Puasa Akhir maupun Awal Tahun Hijriyah. Diskusi menghangat seiring dengan kemunculan sebuah “riwayat” yang menyatakan fadhilah puasa ini sebagai penghapus dosa selama 50 tahun. Lantas bagaimana sebenarnya hukum puasa ini? Apakah benar dianjurkan?
Sebelum masuk ke permasalahan riwayat puasa akhir dan awal tahun ini, yang patut diketahui adalah puasa merupakan amalan yang baik dan mulia. Namun, yang patut digarisbawahi, puasa merupakan ibadah yang terkategorikan mahdlah. Yakni sebuah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah dan atau Rasul-Nya secara detail mengenai tata cara (kaifiyat) pelaksanaannya.
Jika disimpulkan, keberadaan ibadah mahdlah memiliki 4 prinsip. Pertama, amalan itu harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-Hadits al-maqbulah. Jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Dalam hal ini berlaku kaidah Ushul Fiqih “Al ashlu fil ibadati haromun illa ma dalla dalilu ála fi’lihi”, asal sebuah ibadah itu adalah haram/terlarang kecuali ada dalil yang menunjukan perintah untuk mengerjakannya.
(Baca juga: HOAX: Hadits tentang Keutamaan Amalan 10 Hari Pertama Dzulhijjah dan Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah?)
Prinsip kedua, tata caranya harus mengikuti contoh Rasul saw. Dalam hal ini, Rasulullah saw telah menyatakan dalam riwayat yang shahih, yang artinya: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Prinsip ketiga, ibadah dalam bentuk ini bukan ukuran logika, melainkan wilayah wahyu. Akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Prinsip yang keempat, asas pelaksanaannya adalah “taat”. Yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah mahdlah adalah kepatuhan atau ketaatan.
***
Sekarang, sebagian kecil umat Islam ada yang mengkhususkan puasa akhir dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun, yang oleh sebagian orang Jawa dikenal dengan Puasa “Tutup Kendang”.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Islam tentang Rebu Wekasan? dan Masih Bingung Ibadah Nishfu Sya’ban? Inilah Penjelasan Lengkapnya)
Dalil yang digunakan adalah riwayat berikut ini, yang oleh PWMU.CO dilengkapi dengan rangkaian sanadnya (urut-urutan perawi). Riwayat ini oleh Ibn al-Jauzy dituliskan dalam kitab “Al-Mawdlu’aat” Juz 2 halaman 199.
حدثنا أحمد بن عبد الله الهروي حدثنا وهب بن وهب عن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس مرفوعا مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
Dari Ahmad bin Abdullah al-Harawiy dari Wahb bin Wahb dari Ibn Juraij dari ‘Atha’ dari Ibn Abbas “marfu’”: “Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
(Baca juga: Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab? dan Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban?)
Meski Ibn al-Jauziy menuliskan riwayat ini, tapi di akhir matan (bunyi teks), dia jelas menulis “Al-Harawiy huwa al-Jubaibary wa Wahb Kadzdzaabaani Wadldlaa’. Terjemahan bebasnya, Al-Harawiy adalah al-Jubaibary, dan Wahb (bin Wahb) adalah dua orang pendusta dan pemalsu hadits.
Dalam Ilmu Hadits, Kaddzab dan Wadldla’ merupakan 2 ungkapan tentang buruknya seorang periwayat yang paling jelek tingkatannya, sebanding dengan kalimat “Dajjal” dan “Yadla’u al-Hadits”. Dan, tidak ada ulama yang memakai hadits yang dalam salah satu perawinya terdapat label ini, secara mutlak.
Kesimpulannya, hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang dhaif (lemah), yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun, karena haditsnya jelas-jelas lemah.
(Baca juga: Bukan Boleh Tidaknya Hukum Memperingati Maulid Nabi, tapi Inilah Masalahnya)
Lantas bagaimana jika ada yang menyatakan, toh puasa ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Bukankah lebih baik berpuasa daripada membiarkan waktu berlalu tanpa makna? Jawabannya kembali lagi kepada prinsip ibadah mahdlah, bahwa tingkat, tata cara dan juga perincian-perinciannya telah ditetapkan lewat al-Quran maupun hadits shahih/ hasan. Jika tidak ada, atau dalilnya lemah (dla’if), maka tidak boleh dilakukan. Bukan ditetapkan berdasarkan akal atau logika.
Allahu a’lam bi al-Shawab. (kholid abu paradis)