Bintang Sasmita (foto: PWMU)
Bintang Sasmita Wicaksana – Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang/ Pegiat APIMU Malang
PWMU.CO – Masa kecil saya dipenuhi dengan berbagai kenangan, tetapi satu peristiwa yang sangat berpengaruh terjadi ketika saya duduk di bangku kelas 5 SD. Saya harus menerima kenyataan bahwa ayah saya didiagnosis menderita skizofrenia. Berita ini mengguncang dunia saya yang masih polos dan membuat saya sering merasa kepikiran hingga merasa pusing. Ketika teman-teman seumuran saya sedang menikmati masa kanak-kanak mereka, saya harus menghadapi berbagai tantangan emosional yang tidak terduga.
Memasuki masa remaja, tantangan ini semakin bertambah. Saya sering kali merasa terbebani oleh pikiran-pikiran yang sulit dikendalikan. Pengalaman ini memberikan saya perspektif yang unik tentang bagaimana peristiwa buruk di masa kecil dapat berdampak besar terhadap kesehatan mental remaja. Hal inilah yang akhirnya menginspirasi saya untuk terlibat dalam penelitian dosen saya tentang adverse childhood experiences (ACE).
Mengapa Pengalaman Buruk Penting?
Adverse Childhood Experiences (ACE) adalah pengalaman traumatis yang dialami anak-anak dan remaja, seperti kekerasan, pengabaian, atau masalah kesehatan mental dalam keluarga, seperti yang saya alami. Pengalaman ini bisa berdampak panjang terhadap kehidupan seseorang, termasuk kemampuan mereka untuk beradaptasi dan berkembang secara emosional.
Dalam penelitian terbaru yang dilakukan di Indonesia, ditemukan bahwa pengalaman buruk selama masa kecil memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa 65,3% remaja mengalami berbagai bentuk pengalaman buruk, dengan prevalensi lebih tinggi pada remaja perempuan.
Faktor Demografis dan Pengaruhnya
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa faktor demografis seperti usia dan status pernikahan orang tua berperan penting dalam mempengaruhi pengalaman buruk masa kecil. Usia remaja akhir (18-21 tahun) dan status orang tua yang bercerai merupakan faktor yang meningkatkan risiko terjadinya pengalaman buruk.
Salah satu dimensi paling dominan dalam pengalaman buruk masa kecil adalah pengabaian emosional. Dalam konteks ini, saya sangat bisa merasakannya, terutama ketika saya tidak mendapatkan dukungan emosional yang cukup saat harus menghadapi kondisi kesehatan ayah saya. Pengabaian emosional dapat menghambat perkembangan emosional dan sosial remaja, yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Lalu, bagaimana?
Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya upaya pencegahan dan penanganan terhadap masalah kesehatan mental remaja. Program pendidikan dan intervensi seharusnya difokuskan pada peningkatan hubungan antara orang tua dan anak, serta penyediaan dukungan bagi keluarga yang mengalami perceraian atau konflik.
Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman buruk ini, kita dapat merancang strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengurangi dampaknya. Hal ini juga membuka jalan bagi pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada kesehatan mental remaja.
Meskipun penelitian ini telah memberikan wawasan penting tentang pengalaman buruk masa kecil di Indonesia, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Penelitian lanjutan diharapkan dapat menjangkau sampel yang lebih merata di setiap provinsi di Indonesia untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang prevalensi dan dampaknya.
Lebih jauh lagi, penelitian mendatang diharapkan dapat mengeksplorasi lebih dalam hubungan antara latar belakang demografis dan pengalaman buruk masa kecil. Dengan cara ini, kita dapat merumuskan kebijakan dan intervensi yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan mental remaja di Indonesia.
Editor Teguh Imami