PWMU.CO – Beberapa waktu lalu, viral seorang mahasiswa kedokteran melakukan aksi bunuh diri dengan dugaan menyuntikkan obat penenang ke dirinya sendiri. Kejadian itu terjadi di kamar kosnya.
Banyak warganet yang menyayangkan kejadian itu. Ditambah lagi, penyebab peristiwa bunuh diri itu lantaran korban mengalami perundungan. Padahal instansi pendidikan merupakan tempat untuk mengenyam pendidikan dan selayaknya juga menjadi tempat yang nyaman.
Melihat kejadian itu, pakar psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Zaki Nur Fahmawati MPsi Psikolog turut memberikan tanggapannya.
Dampak Perundungan yang Fatal
Menurut dosen yang akrab disapa Zaki itu, perundungan bisa menyebabkan berbagai dampak psikologis, mulai yang ringan sampai yang serius. Misalnya kecemasan, perasaan tidak berarti atau tidak berharga dan depresi.
“Mereka yang merasakan perundungan intens, baik fisik, verbal maupun emosional, bisa kehilangan rasa kepercayaan diri, harga diri rendah, perasaan terisolasi dan meyakini kalau situasinya tidak akan bisa membaik,” ujarnya.
Perasaan-perasaan negatif ini, paparnya, dapat memicu pikiran untuk bunuh diri sebagai pelarian dari rasa sakit yang dirasakan. Korban juga cenderung malu dan khawatir untuk berbicara secara terbuka tentang pengalamannya. Hal ini akan memperparah perasaan negatif sehingga korban merasa tidak ada jalan keluar lain selain bunuh diri.
Tanda Psikologis Orang yang Mengalami Perundungan
Korban dapat menunjukkan beberapa tanda psikologis yang mengindikasikan ia mengalami perundungan, misalnya:
- Menarik diri dari pergaulan
- Kehilangan minat untuk mengikuti kegiatan yang biasanya mereka nikmati
- Gangguan tidur dan makan
- Prestasi akademik yang menurun
- Gejala fisik seperti sakit kepala atau sakit perut tanpa sebab yang jelas.
- Gejala emosi yang tidak stabil seperti cemas, mudah marah, terlalu sensitif dengan berbagai situasi yang ditemui.
“Korban bullying memiliki karakter khas sehingga orang dengan karakter ini lebih rentan terhadap dampak bullying,” tuturnya.
Karakternya adalah adanya masalah kesehatan mental sebelumnya (seperti depresi atau kecemasan), rendahnya harga diri, kurangnya keterampilan sosial, dan kurangnya daya dukung sosial.
Seseorang yang memiliki karakter sensitif atau pernah mengalami trauma juga lebih rentan mengalami dampak serius dari bullying
Peran Kampus Guna Cegah Perundungan
Zaki menjelaskan bahwa kampus berpengaruh besar pada kondisi psikologis korban perundungan. Beberapa peran penting kampus dalam menangani kasus ini seperti:
Kampus yang memiliki budaya inklusif, kebijakan tegas terhadap kasus-kasus bullying bisa memberikan dukungan yang diperlukan oleh korban.
“Sebaliknya, kampus yang tidak memberikan perhatian besar pada fenomena bullying, berpeluang besar memperburuk situasi karena cenderung membiarkan bullying berlangsung, dan hal ini akan semakin memperburuk psikologis korban,” ucapnya.
Kampus memberikan dukungan dan perlindungan pada korban bullying, diperlukan mekanisme pembentukan peer support dan layanan konseling untuk meminimalisir korban merasa tak berdaya dan putus asa.
Kurangnya daya dukung kampus, kata Zaki, tidak tersedianya layanan kesehatan mental di kampus, budaya kampus yang kurang positif seperti eksklusivitas atau kompetisi yang ekstrim, minimnya sanksi pada pelaku bullying menjadi faktor yang memperburuk kondisi mental korban.
Memiliki kebijakan yang jelas terkait kasus bullying, edukasi yang cukup tentang bullying kepada semua warga kampus menjadi faktor protektif yang membuat korban merasa kampus bisa menjadi tempat yang aman untuk mencari bantuan psikologis.
Kampus perlu sigap dalam melakukan upaya-upaya preventif dengan program pencegahan bullying yang komprehensif.
Salah satunya dengan memberikan pelatihan bagi staf dan mahasiswa tentang cara mengenali dan melaporkan bullying.
Kampus perlu menyediakan layanan konseling dan menjangkau mahasiswa yang mungkin berisiko, membentuk peer support, membentuk satgas anti bullying untuk para korban.
Kampus dapat menyediakan jalur pelaporan yang aman, sehingga identitas korban terjaga kerahasiaannya.
Program peer-to-peer support juga bisa efektif mendeteksi dan menangani kasus bullying lebih awal. Dengan identifikasi lebih awal, penanganan juga dapat dilakukan sedini mungkin.
Pertolongan Pihak Kampus Terhadap Kasus Perundungan
Ibu dua anak itu mengatakan, “kampus bisa melakukan Psychological First Aid atau pertolongan pertama psikologis kepada korban sebagai dukungan awal,”.
Pada dampak psikologis yang ringan, upaya ini dapat menolong korban untuk secara gradual kembali adaptif dan menurunkan dampak negatif bullying.
Namun, ujarnya, pada kasus yang lebih berat, korban dapat diberikan terapi psikologis seperti terapi kognitif-behavioral (CBT), yang dapat membantu korban untuk mengubah pola pikir negatif dan membangun kembali rasa harga diri mereka.
Hal ini dapat meminimalisir perasaan putus asa dan kecenderungan bunuh diri. Selain itu, konseling individu atau kelompok juga dapat dilakukan untuk membangun rasa aman korban untuk menceritakan pengalaman mereka.
Kampus dapat memberikan pelatihan tentang bullying, program mentoring, serta penguatan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mental mahasiswa. Selain itu, perlu ada jaminan kemudahan aksesibilitas layanan konseling dan pemberian dukungan psikologis yang didukung oleh seluruh warga kampus.
“Dukungan psikologis dan konseling memiliki peran penting bagi korban bullying untuk membantu mereka mengatasi dampak negatif dari bullying, membangun kembali kepercayaan diri, dan mencegah dampak jangka panjang seperti depresi atau kecenderungan bunuh diri,” tutup dosen yang berfokus pada kajian, penelitian dan pengabdian masyarakatnya pada kesehatan mental dan ketangguhan keluarga itu. (*)
Penulis Romadhona S Editor Wildan Nanda Rahmatullah