Penulis Anang Dony Irawan
Wakil Ketua PCM Sambikerep
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Penikmat Sejarah
PWMU.CO – Ditengah-tengah hiruk pikuk partai politik dalam mempersiapkan pasangan calon kepala daerah dalam gelaran Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentah tahun 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang mengenai ambang batas pencalonan atau parlimentary threshold dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang mengenai batas usia calon kepala daerah.
Putusan ini tentu sudah banyak kita ketahui bahwasannya bersifat erga omnes, final dan mengikat sejak diucapkan. Putusan tersebut berlaku bagi semua, termasuk lembaga negara. Tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan setelah putusan itu diucapkan secara terbuka dalam Sidang Mahkamah Konstitusi.
Dengan kondisi yang ada belakangan ini, khususnya setelah adanya Putusan MK tersebut terlihat terjadi kegusaran di banyak kalangan. Bahkan dengan penuh keprihatinan dan kesesakan yang mendalam atas kondisi yang terjadi tersebut, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) hingga menilai bahwa tengah terjadi Krisis Konstitusi yang melanda di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini disinyalir adanya pembangkangan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat R.I. sebagai lembaga pembuat legislasi yang secara vulgar dan arogan telah mempertontonkan sikap pengkhianatan mereka terhadap konstitusi Indonesia. Walaupun kedudukan DPR sebagai lembaga pembuat UU dijamin di dalam konstitusi, Pasal 20 UUD 1945 mengatur bahwa DPR memegang kekuasaan dalam pembentukan UU.
Dengan Putusan MK tersebut tentu saja akan menjadi energi yang positif bagi kondisi demokrasi yang saat ini terkesan hanya milik elit partai politik. Selain itu putusan tersebut menjadi obat penawar dari kekhawatiran yang melanda masyarakat beberapa hari belakangan menguat adanya potensi untuk terciptanya hanya satu pasangan calon kepala daerah. Bahkan bisa juga menimbulkan upaya melawan kotak kosong dalam gelaran Pilkada 2024 di ada beberapa daerah karena batasan perolehan kursi di DPRD yang dapat mengajukan calon pasangan kepala daerah.
Melihat fenomena yang dikhawatirkan terjadi itu, MK mengeluarkan putusannya yang mengubah arah pencalonan cakada 2024 ini. Lalu direspon cepat oleh DPR melalui Baleg dengan langsung menggelar rapat untuk melakukan revisi UU Pilkada.
Dengan respon cepat dari DPR terkesan melakukan perlawanan terhadap Putusan MK tersebut dengan menyelisihi syarat partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mengajukan pasangan calon.
Dengan Putusan MK Nomor 60/2024 membawa angin segar bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD. Mahkamah Konstitusi telah membuat iklim demokrasi yang diinginkan masyarakat kita, dimana masyarakat nantinya dihadapkan dengan banyaknya pilihan paslon cakada di Pilkada 2024 yang akan digelar pada 27 November 2024. Putusan itu menjaga marwah demokrasi yang telah diamanahkan Pasal 1 UUD 1945 dan tentu saja akan menyehatkan kehidupan demokrasi ke depan. Kabar yang bisa menggembirakan publik.
Apalagi Putusan MK Nomor 70/2024 juga tetap memberlakukan batas usia calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e. Putusan yang berbeda terhadap Putusan Mahkamah Agung.
Hakim Konstitusi, Saldi Isra sampai menjelaskan bahwa Mahkamah telah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo. Jangan ada pembangkangan terhadap konstitusi yang terjadi di Indonesia.
Editor Azrohal Hasan