Oleh: Silviyana Anggraeni – Apimu Lamongan
PWMU.CO – Era modern seperti sekarang ini, khususnya bagi seorang wanita adalah kondisi yang sangat dilematis. Dalam satu sisi mereka ingin berperan seutuhnya menjadi istri dan ibu di rumah, di sisi lain mereka dituntut untuk menjadi wanita karir. Baik itu tuntutan dari lingkungannya (eksternal) maupun dari dalam dirinya sendiri (internal).
Tuntutan dalam diri ini adalah sebuah faktor yang tidak dapat di hindari oleh seorang wanita ketika keadaan memaksanya untuk bekerja atau berkarir. Misal, dia adalah seorang single parent yang harus membiayai kehidupan anak-anaknya. Misal, suaminya sebagai tulang punggung keluarga sakit keras, sehingga tak mampu mencari nafkah, lantas istri yang harus menggantikan tugas sang suami.
Sedangkan tuntutan dari lingkungan biasanya terjadi ketika anggapan di masyarakat kita bahwa wanita haruslah memiliki pekerjaan atau karir. Atau ketika penghasilan dari suami tidak mencukupi kebutuhan gaya hidup yang serba wah. Atau bahkan hanya sekadar ingin mengaktualisasikan diri untuk dikatakan sejajar dengan kaum pria.
Lihat saja hampir seluruh sektor pekerjaan publik banyak diisi oleh wanita. Pekerjaan yang berabad-abad lalu hanya dilakukan oleh pria, kini banyak diisi oleh wanita. Entah itu supir, buruh pabrik, CEO perusahaan atau kepala pemerintahan.
Bahkan ada sebuah penelitian yang memiliki keakuratan tinggi tetapi menyesatkan, mengatakan bahwa ada beberapa pekerjaan yang lebih berhasil ketika dilakukan oleh seorang wanita. Hal itu dikarenakan karakter wanita itu sendiri yakni lemah lembut, peka, dan teliti seperti menjadi customer service, sekretaris perusahaan, marketing dan lain-lain.
Penelitian lain datang dari kelompok peneliti Amerika dan Inggris, dengan menggunakan pengukuran data dari International Social Survey Programme mengatakan bahwa ibu yang bekerja berdampak baik pada kesuksesan anak.
Penelitian-penelitian tersebut mungkin tidak terlepas dari usaha dunia barat dalam mengampanyekan isu-isu feminisme. Dimana dengan sendirinya secara perlahan pandangan masyarakat dunia tentang wanita pekerja adalah hal yang biasa bahkan memiliki efek baik pada kehidupan dunia.
Melalui media masa, para penggerak gerakan feminisme selalu berupaya agar para wanita, khususnya bangsa timur, mengikuti kehidupan modern seperti bangsa barat. Padahal tanpa disadari para pejuang feminisme telah dimanfaatkan oleh orang-orang sekuler dan westernis karena dalam kehidupan modern juga mengandung banyak unsur atau pola sekuler dan westernis.
Gerakan feminisme ini tidak lepas dari pandangan miring dunia barat terhadap dunia timur khususnya arab, salah satunya yang berkaitan tentang kedudukan dan peran wanita. Padahal kalau kita pelajari kembali, bagaimana nasib wanita ketika sebelum dan sesudah Islam di Arab datang, sangat jauh berbeda.
Wanita pra Islam adalah sebuah kisah kelam peradaban dunia. Banyak sekali penyimpangan dan perlakuan imoral yang dialami kaum wanita saat itu. Hal ini juga terjadi di seluruh belahan dunia.
Masa itu adalah masa jahiliyah (kebodohan) yang terjadi selama 569 tahun, tepatnya setelah nabi isa wafat sampai dengan lahirnya nabi Muhammad SAW. Dimana tidak ada wahyu turun dan pengemban dakwah Nabi atau Rasul. Juga tidak lagi terjaga kitab-kitab sebelumnya baik dalam keaslian maupun pelaksanaannya oleh para pemeluknya.
Pada masa itu kelahiran wanita dianggap sebuah aib dan bencana seperti yang tertuang dalam firman Allah Q.S An-Nahl ayat 58 sampai 59. Penguburan bayi perempuan menjadi hal biasa, mereka lebih memilih membunuh darah daging sendiri ketimbang harus merasa malu. Namun jika bayi perempuan itu lolos dalam penguburan, bisa dipastikan mereka akan hidup dalam kehinaan.
Wanita hanya dianggap barang komoditas, tidak memiliki hak waris bahkan sebagai budak-budak. Mereka diperintahkan tuannya untuk melacurkan diri. Berbagai penyimpangan dalam pernikahan juga terjadi seperti poligami tak terbatas, poliandri, kawin kontrak, tukar menukar pasangan dan masih banyak lagi.
Kehidupan wanita berangsur membaik setelah kedatangan Rasulullah Muhammad SAW dengan membawa risalah agama tauhid. Kedudukan wanita dari yang dianggap hanya sebagai barang komoditi jual beli dan tidak memiliki hak selayaknya manusia kini menjadi mahluk yang bermartabat, terlebih ketika menjadi seorang ibu.
Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, saat ada seorang sahabat yang bertanya pada Rasul tentang siapa orang yang harus diperlakukan dengan baik, tiga kali Rasul menjawab ibu lalu bapak. Dalam riwayat lain, dalam, At-Turmudzi, disebutkan, “Tidaklah kalian memiliki 3 anak perempuan atau 3 saudara perempuan, kemudian kalian berbuat baik kepada mereka kecuali kalian akan masuk surga”.
Dengan uraian fakta wanita pra Islam tadi layakkah barat memberikan stigma negatif tentang Islam, bahkan ingin menularkan pandangan feminisme yang konon bertujuan untuk melepaskan wanita dari belenggu tugas 3M saja yakni masak, macak, manak.
Jika ada yang sependapat dengan pandangan barat tersebut maka bisa dipastikan dia adalah orang yang buta sejarah dan tidak memahami bagaimana Islam memposisikan wanita pada kedudukan yang tinggi.
Meski begitu tidak semua Gerakan feminisme khususnya yang terjadi di Indonesia adalah buruk. Contohnya yang terjadi di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Banyak juga para wanita yang aktif mengikuti kegiatan politik maupun perlawanan fisik. Dari situlah lahir nama nama pejuang kemerdekaan wanita bernama Cut Nyak Dien, Siti Walidah, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, Cut Nyak Meutia dan masih banyak lagi.
Berbeda dengan yang terjadi saat ini, kebanyakan para wanita ingin bekerja di luar rumah dikarenakan faktor yang sebenarnya tidak terlalu mendesak.
Katanya hanya sekadar mengisi waktu luang, agar ijazah terpakai, untuk memiliki uang tambahan, atau sekadar ingin mengembangkan diri. Padahal banyak sekali alternatif yang bisa dilakukan untuk alasan-alasan tadi tanpa harus bekerja di luar rumah agar tetap bisa mengurus suami dan anak dengan baik. Jika terpaksa harus bekerja di luar rumah mereka dapat memilih pekerjaan yang ringan atau waktu yang fleksibel.
Ketika seorang istri dan ibu memilih untuk bekerja diluar rumah dengan pekerjaan yang berat dengan waktu yang penuh, sedikit banyak mereka akan mengalami dilema antara pekerjaannya di luar atau kewajibannya di rumah. Apalagi ketika ia kurang bisa memanage waktu, maka bisa dipastikan salah satunya atau bahkan semua akan terbengkalai. Suami dan anak tidak terurus, gizi keluarga tidak diperhatikan, rumah bak kapal pecah, belum lagi ketika atasan marah karena kita tidak bisa menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal.
Hal yang dikhawatirkan ketika seorang istri dan ibu tidak fokus dalam mengurus kehidupan rumah tangganya adalah pertengkaran antara suami dan istri akan sering terjadi, pendidikan anak yang pada hakikatnya adalah tanggung jawab orang tua akan terabaikan. Kemudian, kejadian- kejadian yang tidak diinginkan terjadi seperti perceraian, perselingkuhan, kenakalan pada anak, kriminalitas, bahkan sampai kematian akibat bunuh diri atau over dosis. Dengan kata lain hal tersebut telah jauh dari tuntunan agama dan merusak tatanan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa baik buruknya sebuah keluarga, wilayah maupun negara sekalipun tidak terlepas dari sosok wanita. Hal ini seperti yang disabdakan Rasulullah.
“wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negaranya pun akan rusak”. Untuk itu peranan wanita baik sangat diperlukan untuk mendidik anak serta mengatur kehidupan domestik agar rumah tangganya tetap terurus dan menjadi keluarga yang sakinah mawadah warohma.
Sekarang dengan banyaknya wanita yang beralih bahkan lebih senang berperan di sektor publik tanpa adanya alasan yang kuat atau hanya sekadar ingin. Tanpa disadari mereka telah menjadi korban paham sekuler dan westernis yang di bungkus rapi dalam kata modernis.
Mereka termakan iklan yang diciptakan oleh media. Mereka telah menjadi barang komoditas masa kini. Mereka mati-matian bekerja keras untuk membeli sesuatu yg di iklankan oleh para bos. Tanpa sadar uang dan tenaga mereka diperas bahkan masa depan anak dan rumah tangga mereka diambang kehancuran. Wanita seperti demikian telah kembali pada masa jahiliyah, yakni menjadi barang komoditas. (*)
Editor Ni’matul Faizah