Oleh Silviyana Anggraeni – Apimu Lamongan
PWMU.CO – Adannya anggapan bahwa perempuan sebagai makhluk lemah dan rentan agaknya tidak sepenuhnya benar. Meski secara fisik perempuan terlihat demikian dibanding laki-laki, tetapi sebenarnya perempuan adalah makhluk yang kuat.
Allah SWT mempercayakan kodrat reproduksi kepada perempuan, padahal kodrat tersebut amatlah berat, bahkan seorang laki-laki pun tidak akan sanggup mengembannya karena sejatinya kekuatan seseorang tidak tergantung pada apa yang terlihat, dan bukankah Allah yang maha pencipta juga tidak terlihat oleh kasat mata.
Begitulah perempuan, dianggap lemah, padahal amat kuat. Kuat menahan sakitnya mengandung, melahirkan, mengasuh. Bahkan ketika hatinya porak poranda karena problematika hidup, hatinya tetap kokoh untuk memainkan perannya sebagai istri dan ibu.
Tentu kita sudah banyak menemui sosok perempuan tangguh. Bahkan banyak dari mereka memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah.
Seperti data yang ada dalam Suplemen Sosial dan Ekonomi atau Annual Social and Economic Supplement (ASEC) sebuah jenis data Current Population Survey (CPS) pada tahun 2020.
Dalam survei ini partisipasi perempuan pekerja yang menikah sebesar 70,4 persen, sedangkan partisipasi perempuan pekerja yang sudah tidak menikah atau janda sebesar 77,7 persen dari total populasi perempuan. Artinya, dari persentase tersebut partisipasi perempuan sangatlah tinggi.
Terlepas dari latar belakang mengapa mereka tetap bekerja setelah menikah atau sudah tidak menikah. Dengan begitu, dapat dikatakan perempuan juga telah turut berpartisipasi menyanggah perekonomian negara dan keluarga yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Meski memang ada perbedaan antara perempuan yang menikah dengan perempuan yang sudah tidak menikah. Yang mana menurut data, perempuan yang sudah tidak menikah atau bercerai lebih besar berpartisipasi dalam angkatan kerja yakni sebanyak 61,7 persen daripada perempuan yang menikah sejumlah 57,4 persen.
Lebih besarnya persentase perempuan yang sudah tidak menikah ditenggarai oleh faktor tidak adanya sosok suami sebagai kepala rumah tangga yang menyanggah tugas mencari nafkah. Dengan demikian, mau tidak mau, suka tidak suka, perempuan mengambil alih tugas tersebut. Lain lagi dengan perempuan yang menikah, dimana masih adanya sosok suami yang mencari nafkah sehingga tuntutan perempuan untuk bekerja di luar bukanlah opsi satu-satunya.
Selain tidak adanya tuntutan untuk bekerja di luar, tugas domestik dan pengasuhan anak juga menjadi faktor perempuan yang telah menikah sulit untuk dapat mandiri secara ekonomi. Jikalau pun ada kebanyakan mereka bekerja paruh waktu atau bahkan membuat usaha kecil-kecilan yang dianggap tidak menyita banyak waktu. Meski demikian, juga tidak sedikit perempuan yang bekerja penuh waktu dan mengalihkan tugas domestik maupun pengasuhan anak dengan mempekerjakan Asisten Rumah Tangga (ART).
Seiring kemajuan zaman, khususnya dalam hal teknologi, bekerja tidak lagi terpaku pada waktu dan tempat tertentu. Sebab melalui teknologi, kita dapat bekerja kapan saja dan dari mana saja. Hal itu sudah dipraktikkan pada masa pandemi beberapa tahun lalu. Dimana aktivitas di luar dibatasi dan semua bergantung pada teknologi komunikasi.
Masa pandemi kala itu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dunia untuk bisa survive dan bangkit dari bencana internasional tersebut. Bagi mereka yang tidak mampu bertahan, pandemi adalah akhir dari kehidupan namun, bagi mereka yang mampu bertahan, pandemi adalah awal dari kehidupan.
Hidup dengan cara baru khususnya dalam hal teknologi komunikasi. Di masa itu juga banyak sekali entrepreneur perempuan lahir. Perempuan yang memanfaatkan kemudahan teknologi di tengah pembatasan aktivitas fisik. Dari rumah mereka melakukan aktivitas yang menghasilkan profit. Bahkan, tidak hanya profit untuk pemenuhan kebutuhan pokok (primer) tetapi juga untuk kebutuhan sekunder dan tersier.
Namun ada anggapan bahwa perempuan cerdas bukan yang hanya bisa menghasilkan uang, tetapi juga bisa mengelola keuangan. Dari anggapan tersebut muncullah berbagai cara mengelola keuangan. Beberapa diantaranya ada dalam buku “All Your Worth: The Ultimate Lifetime Money Plan” di sana Senator Elizabeth Warren dan putrinya, Amelia Warren Tyagi mempopulerkan sebuah metode dengan komposisi 50/30/20 untuk mengatur keuangan.
Metode ini sudah banyak dipraktikkan, yakni dengan mengalokasikan 50 persen pendapatannya untuk kebutuhan, 30 persen untuk keinginan, dan 20 persen untuk tabungan. Metode lain adalah dengan komposisi 70-10-10-10 yang dipopulerkan oleh seorang pengusaha Amerika, penulis dan pembicara motivasi, Jim Rohn.
Pengalokasiannya adalah 70 persen untuk kebutuhan primer dan sekunder, 10 persen untuk dana masa depan, 10 persen untuk investasi dan 10 persen lagi untuk sedekah. Apapun metode keuangan yang dipakai, dalam Islam ada tiga prinsip yang tidak boleh ditinggalkan agar rezeki berupa uang tersebut bernilai barokah.
Tiga prinsip tersebut yang pertama adalah menghindari riba dan transaksi apapun yang tidak sesuai dengan syariah. Sesuai firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 278-280.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.”
Kedua, menabung dan berinvestasi secara bijak seperti sabda nabi dalam HR. Bukhari. “Simpanlah sebahagian daripada hartamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu.”
Ketiga, tidak melupakan zakat dan sedekah. Seperti firman Allah dalam QS. AT-taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.”
Serta sabda nabi dalam HR. Tirmidzi yang bunyinya, “sedekah tidak akan mengurangi harta.” (*)
Editor Ni’matul Faizah.