Oleh: Silviyana Anggraeni – Pegiat Literasi
PWMU.CO – Banyaknya fenomena hijrah yang terjadi hari ini adalah sebuah fenomena yang memiliki dua sisi. Yakni sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya yaitu ketika dilakukan atas dasar kesadaran dari si pelaku, sedangkan sisi negatifnya ketika hal itu dilakukan karena hanya ikut-ikutan dan coba-coba.
Dikatakan positif karena biasanya orang yang melakukan sesuatu atas dasar kesadarannya sendiri akan lebih langgeng dan istiqamah. Berbeda ketika hanya mengikuti trend, bisa saja suatu saat dia melepas kembali jilbabnya. Bahkan buka tutup seperti warung.
Gerakan hijrah yang banyak kita dengar melalui media sosial tampaknya tidak hanya dilakukan oleh kalangan urban dan artis papan atas Indonesia saja, tetapi juga menjamah masyarakat kota kecil dan pedesaan. Mulai dari usia sekolah menengah atas hingga yang telah berusia lanjut.
Hijrah secara harfiah berarti meninggalkan, perpindahan dan peralihan dari satu ke lain kondisi, sedangkan hijrah menurut Ketua Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang, Pradana Boy ZTF adalah perubahan orientasi kehidupan beragama seseorang dari kondisi tidak atau kurang agamis kepada orientasi dan kondisi yang lebih agamis.
Hijrah seringkali diidentikkan dengan perubahan dalam berpakaian. Maka tidak heran ketika ada seseorang yg telah berhijrah biasanya juga mengubah cara berpakaiannya. Dari yang semula tidak berjilbab menjadi berjilbab, dari yang sebelumnya memakai jilbab pendek lalu berjilbab lebar dan panjang. Bahkan bagi seorang laki-laki, umumnya memelihara jenggotnya karena itu bagian dari sunnah Nabi.
Berbicara tentang jilbab, saat ini sepertinya jarang kita temui wanita muslim yang tidak mengenakannya terutama ketika sedang berada di luar rumah atau bepergian. Entah itu dilakukan atas dasar kesadaran tentang pentingnya menutup aurat atau hanya sekadar mengikuti trend.
Dari model jilbab ala istri pejabat seperti Arumi Bachsin sampai model jilbab seorang ustadzah Oki Setiana Dewi. Dari pemakaian jilbab yang hanya diselempangkan saja di atas kepala dan memperlihatkan rambut bagian atas keningnya sampai jilbab yang menjuntai panjang dan lebar bahkan ada juga yang bercadar.
Dalam beberapa kesempatan, penulis sempat berbincang santai dengan beberapa teman muslimah mengenai kebiasaan berpakaian mereka. Orang pertama sebut saja namanya Aisyah. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia telah hidup di lingkungan pesantren dan memiliki pemahaman ilmu agama yang bagus.
Namun setelah menikah dan hidup di kota besar, kini sudah jarang memakai jilbab yang dulu merupakan identitas dirinya sebagai anak pondok.
Dengan alasan belum ada kesiapan dalam dirinya untuk memakai jilbab seperti dulu lagi dikarenakan dia masih memiliki banyak sifat dan sikap buruk. Dia juga tidak mau berjilbab hanya untuk mengikuti trend masa kini namun di sisi lain masih suka bergosip dan mencela orang lain.
Orang kedua sebut saja namanya Citra. Masa muda yang dianggapnya sangat kelam mengantarkannya pada jalan hidayah dan istiqamah berjilbab. Pernah menikah karena kecelakaan atau lebih dikenal dengan Married by Accident (MBA), lalu bercerai dengan suaminya karena menerima banyak tindak kekerasan rumah tangga dan penghianatan.
Selain itu, orang-orang terdekat pun banyak yang menjauh. Kini, setelah memperbaiki diri dan berjilbab kehidupannya berangsur membaik. Bahkan kini telah memiliki suami yang sangat baik dan dikaruniai anak dari pernikahan keduanya.
Orang ketiga sebut saja namanya Yuli. Meski sadar dia adalah seorang Muslimah yang memiliki kewajiban untuk menutup auratnya, tetapi logikanya menolak. Menurutnya, jilbab membatasi gerak dan aktivitasnya. Bahkan dia merasa malu ketika harus berjilbab.
Bahkan, menurutnya ia tetap memiliki banyak teman dari lingkungan yang baik meski tak berjilbab. Itulah kenapa dia enggan mengenakan jilbab baik di dalam ataupun di luar rumah.
Dari kisah ketiga orang tadi alangkah baiknya kita tidak serta-merta mengambil kesimpulan bahwa yang baik pasti berjilbab dan yang buruk tidak berjilbab atau bahkan sebaliknya, yang berjilbab biasanya mempunyai latar belakang yang buruk dan yang tidak berjilbab justru orang orang baik.
Sebab pada dasarnya jilbab adalah sebuah kewajiban seseorang yang mengaku Muslimah, terlepas dari baik atau buruk orang tersebut. Bahkan, dengan berjilbab bisa mendorong seseorang untuk melakukan hal positif. Yang secara disadari atau tidak si pemakai merasa malu ketika melakukan hal buruk padahal di sisi lain dia berjilbab.
Kewajiban berjilbab bagi setiap muslim banyak ditemukan dalam berbagai referensi. Referensi yang terkuat bagi orang Islam adalah al-Quran dan hadits Nabi. Seperti yang terkandung dalam Q.S Al-Ahzab ayat 29 yang artinya, “Wahai Nabi! katakanlah kepada istri -istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Dalam Hadits Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)? Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”
Dari dua sumber utama tersebut dapat kita simpulkan betapa jilbab bagi seorang Muslimah adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi. Namun, seiring berkembangnya zaman, modernitas jilbab tidak hanya sekadar untuk menutup aurat, tetapi telah dijadikan fashion bahkan banyak pula yang tidak lagi memenuhi syarat jilbab yang baik dan benar.
Seperti model yang terlalu ketat sehingga membentuk bagian-bagian tubuh tertentu. Bahan atau kain yang tipis dan transparan, serta memakai banyak atribut yang tujuannya untuk berhias.
Memahami fenomena tersebut alangkah pentingnya bagi wanita untuk mengetahui bahwa kewajibannya berjilbab tidak dapat ditunda terutama ketika sudah baligh serta memahami betul bagaimana cara berjilbab yang baik sesuai syariat Islam.
Apapun motivasi untuk berjilbab adalah nomor dua, karena yang nomor satu adalah menumbuhkan jiwa yang haus akan ilmu dan mau belajar untuk lebih baik lagi. Jangan pernah merasa puas telah berjilbab, terus perbaiki diri guna menyetarakan akidah dan busana. Menyetarakan hati dan kulit ari.
Editor Ni’matul Faizah