Oleh: Silviyana Anggraeni (pegiat literasi)
PWMU.CO – Banyak fenomena unik yang terjadi pada tanggal 27 sampai dengan 29 Agustus 2024 kemarin. Di mana hari itu merupakan waktu pendaftaran pasangan calon gubernur maupun kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Meski unik namun fenomena tersebut sudah dapat diprediksi, yakni banyaknya pasangan calon gubernur maupun kepala daerah yang di usung oleh banyak partai politik, seperti pilpres kemarin, dimana ada salah satu calon yang diusung oleh banyak partai.
Disinyalir pola koalisi di tingkat provinsi dan daerah adalah buntut dari terpilihnya prabowo sebagai pemenang pilpres atau presiden RI, di mana Prabowo sebagai pemimpin pemerintahan selanjutnya seolah-olah ingin merangkul semua partai politik untuk menjadi koalisi dan berusaha meniadakan oposisi.
Padahal skema seperti itu tidaklah ideal bagi keberlangsungan sebuah negara. Tidak adanya oposisi sebagai penyeimbang, membuat kebijakan rentan dimonopoli pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan termasuk pemerintahan yang sah itu sendiri.
Beberapa pasangan calon yang memiliki koalisi Parpol gemoy di antaranya Ridwan Kamil dan Suswono dalam pilgub DKI Jakarta yang didukung 14 partai yakni Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PAN, Demokrat, PSI, PPP, Perindo, PKS, Garuda, Gelora, PBB, dan PKN.
Ada juga pasangan calon Lalu Muhamad Iqbal dan Indah Dhamayanti Putri dalam Pilgub Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didukung oleh 10 partai yakni Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PBB, Hanura, Gelora, PSI, Garuda, dan Prima.
Di Pilgub Jambi ada pasangan calon Haris dan Abdullah Sani yang didukung 14 Parpol yakni Hanura, PKS, PAN, PKB, Golkar, Gerindra, PPP, PDI-P, Demokrat, Perindo, Buruh, PBB, Umat, dan Garuda.
Masalah besar lainnya ketika ada tokoh-tokoh yang tidak dapat mencalonkan diri dikarenakan kurangnya syarat dukungan dari partai politik terkait ambang batas perolehan kursi partai di DPR.
Lebih disayangkan lagi ketika tokoh tersebut dipercaya oleh masyarakat mampu memimpin dan memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan tokoh yang mendapatkan dukungan dari banyak parpol.
Salah satunya ada nama Anies Rasyid Baswedan, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 15-20 Juni 2024 elektabilitas anis paling tinggi yakni 29,8 persen dibanding Ridwan kamil yang hanya 8,5 persen.
Selain menjadi masalah, hal ini juga menjadi pertanyaan besar. Ada apa dengan partai politik kita. Jika tujuan partai adalah memenangkan pemimpin yang memiliki elektabilitas tinggi dan kemampuan memimpin bukankah harusnya Anis yang didukung. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, partai politik berbondong-bondong mengajukan Ridwan Kamil dan Suswono sebagai pasangan calon gubernur DKI Jakarta.
Fenomena ini patut menjadi perhatian kita bersama, baik yang paham dengan politik maupun yang awam sekalipun. Jika fenomena ini dibiarkan menguap begitu saja, kedepan partai politik indonesia tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Yang mana fungsi dari partai politik itu ada lima. Yang pertama partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang kedua sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Yang ketiga sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Yang keempat sebagai sarana partisipasi politik warga negara Indonesia. Yang kelima Sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Jauh-jauh hari direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura sudah menilai bahwa koalisi gemoy merupakan bagian dari upaya untuk meredam keseimbangan kekuasaan agar fungsi kontrol dan pengawasan menjadi lemah. Yang artinya membuka ruang kongkalikong kepada pihak-pihak yang serakah dan culas untuk mengeksploitasi berbagai sumberdaya yang dimiliki indonesia.
Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr Hidayatulloh MSi, memilih pemimpin bukanlah hal yang mudah, dikarenakan tidak semua yang mencalonkan atau dicalonkan memiliki jiwa kepemimpinan. Jangan sampai kita salah dalam memilih karena itu perlu kiranya kita mengetahui peran dari pemimpin.
Peran pemimpin ada empat, yang pertama sebagai pathfinding atau petunjuk jalan, lalu sebagai modeling atau contoh, selanjutnya sebagai alingning atau pengatur dan terakhir sebagai empowering atau pemberdaya. Dari fungsi pemimpin tersebut tentu kita sudah dapat mengira-ngira seperti apa ciri-ciri pemimpin yang ideal dalam melaksanakan empat fungsinya tadi.
Dan orang-orang yang menjadi calon pemimpin hendaknya tetap berpegang pada koridor hukum dan norma yang berlaku juga berpegang pada perkataan Rasulullah agar tidak dihinggapi rasa ambisius yang dapat merusak akal sehat.
Perkataan Rasulullah tersebut terdapat dalam hadist riwayat Muslim yang berbunyi: Dari abdurrahman bin Samurah, bahwasanya Nabi bersabda: “Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan kepemimpinan. Karena jika engkau diberi karena memintanya, niscaya akan dibebankan kepadamu, dan tidak akan ditolong oleh Allah. Tetapi jika diberikan kepadamu tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong oleh allah.” (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah