PWMU.CO – Radius Setiyawan, seorang dosen Kajian Media dan Budaya di UM Surabaya, memberikan pandangannya terkait penurunan kelompok kelas menengah sebanyak 9,48 juta dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 terdapat 57,33 juta penduduk Indonesia yang tergolong kelas menengah. Namun, pada tahun 2024, jumlah ini turun menjadi 47,85 juta penduduk.
Dalam pemberitaan yang beredar, seperti yang disampaikan Plt Kepala BPS Amalia Adininggar menyebut penyebab utama turunnya kelas menengah tahun ini adalah efek pandemi Covid-19 yang masih terasa sampai saat ini, terutama kepada perekonomian.
Radius menilai, bukan sesuatu hal yang mudah menjadi kelas menengah di Indonesia. Penghasilan yang serba tanggung membuat seseorang terlalu kaya untuk diberikan bantuan sosial sebagaimana kelompok miskin.
“Status “tanggung” alias tidak miskin dan tidak kaya ini seharusnya juga menjadi concern pemerintah dalam membuat instrumen kebijakan. Karena jika tidak hal ini bisa menjadi ancaman buruk bagi mimpi Indonesia Emas pada tahun 2045,” ujarnya.
Radius menilai, kelompok menengah yang semakin miskin bisa juga disebabkan oleh budaya konsumersime yang tinggi. Ia menjelaskan, Indonesia sebagai negara penghasil food waste terbanyak dan menempati peringkat yang tinggi.
“Perilaku konsumsi yang berlebihan adalah salah satu penyebabnya. Perilaku tersebut salah satunya didorong oleh apa yang disebut Marcuse sebagai kebutuhan palsu (false needs),” ujar Radius Senin (02/09/2024).
Kegemaran Kelas Menengah
Radius mencontohkan, saat ini banyak keberadaan cafe dan resto yang mengubah ritme gaya hidup sebagian orang. Budaya nongkrong di cafe saat ini sudah menjadi suatu kegiatan yang selalu dilaksanakan setiap akhir pekan dan salah satu aktivitas wajib untuk mengisi waktu luang.
“Budaya nongkrong di cafe bisa jadi mengarah kepada self-esteem dan prestige untuk memenuhi kebutuhan palsu,” imbuh Radius lagi.
Selain itu, keberadaan social media yang juga menjadi titik balik perubahan gaya hidup seseorang, aktivitas nongkrong bisa menjadi ajang untuk dapat diakui dan menunjukkan eksistensi di dalam pergaulan itu sendiri. Masyarakat Indonesia khususnya remaja adalah kelompok individu yang cepat meresap dan menyaring trend yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Dan nongkrong di cafe adalah suatu trend terus dikuti oleh remaja-remaja pada zaman sekarang.
“Hal tersebut memunculkan konsekuensi adanya kecenderungan seseorang untuk menjadi semakin superfisial,. Hal ini berkaitan dengan pembentukan citra demi mendapatkan sebuah status sosial yang lebih tinggi,” imbuhnya lagi.
Radius juga mencontohkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik hingga otomatif. Menurutnya, praktik gaya hidup mewah merupakan sebuah praktik konsumsi barang-barang simbolik dengan tujuan membentuk dan menampilkan sebuah identitas yang lebih tinggi dari identitas asli pelakunya.
“Praktik ini semakin banyak terjadi karena pembeda kelas sosial antara yang kaya dan miskin semakin jelas,” katanya.
Sehingga melihat ancaman besar seperti itu, pemerintah tidak boleh hanya fokus bahwa ini adalah dampak dari Covid, melainkan ada banyak faktor yang mempengaruhi.
“Maka dari itu, harus dicari solusi untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi, agar tidak menjadi petaka di kemudian hari,” pungkasnya. (*)
Penulis Uswah Sahal Editor Amanat Solikah