Muhammad Rusydan Mirwan Hadid – Pengurus Abdinesia
PWMU.CO – 9 dari 10 negara telah membuktikan bahwa produksi artikel seputar lingkungan berimplikasi pada meningkatnya kesadaran masyarakat seputar lingkungan.
Tetapi rumus ini tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia. Kendati mengalami kenaikan 160% produksi lingkungan bertemakan energi hijau, tetapi fakta di lapangan menunjukkan 77% responden belum mampu melihat sisi positif dari dampak yang akan dihasilkan jika Indonesia bertransisi menggunakan energi terbarukan.
Di sisi yang lain, ketergantungan terhadap energi fossil masih menjadi tradisi yang akan semakin menjauhkan Indonesia dari komitmen Net Zero Emission 2060 dan semakin mendekatkan negara ini dalam kubangan bencana alam, terutama yang didorong oleh pemanasan global.
Situasi ini yang mengundang pertanyaan tentang faktor apa yang membuat media Indonesia masih impoten dalam menyampaikan isu-isu lingkungan.
Studi kasus pada berbagai media di Inggris menjelaskan bahwa sejak tahun 2011 telah terjadi pergulatan narasi antar media tentang perubahan iklim. Setiap media memiliki kecondongan politik dan ideologi yang turut menentukan kemana arah narasi mereka ditujukan.
Media-media yang terafiliasi pada poros Kiri, seperti The Guardian, telah lama memihak pada keniscayaan perubahan iklim yang maha dahsyat di masa depan apabila tidak segera ditangani. Sementara media-media yang beririsan dengan poros Kanan, seperti The Suns, condong pada narasi kontra terhadap isu-isu ini.
Seiring berjalannya waktu, dalam rentang waktu 10 tahun, perubahan secara signifikan terjadi. Media berhaluan Kanan pada akhirnya melebur dalam narasi pencegahan perubahan iklim. Setidaknya pada tahun 2019, tidak ada satupun media yang memberikan narasi sentimen terhadap isu-isu perubahan iklim.
Pengalaman pergulatan memenangkan pasar pembaca dalam topik besar krisis iklim perlu dipandang sebagai proses pendewasaan media di Inggirs sehingga pengalaman tersebut dapat menjadi modal strategi bagi media disana untuk menjangkau pembacanya.
Hal tersebut terlihat dengan upaya dari masing-masing media membuat rubrik dan liputan khusus seputar lingkungan dan perubahan iklim.
Membandingkan dinamika perebutan wacana di Inggris, media-media di Indonesia nampaknya belum memasuki fase pergulatan tersebut. Senyapnya media dalam pertarungan wacana mengindikasikan keterbatasan media dalam memenangkan wacana tersebut, sehingga proses produksi dan amplifikasinya fakir strategi narasi.
Dalam hal ini, jika berkaca pada media Inggris yang telah mengalami periode pergulatan narasi, wacana apokaliptik dengan menekankan pada betapa besarnya kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan iklim menjadi wacana yang laris dan dapat mempengaruhi persepsi publik.
Hal ini sekaligus menjadi jawaban dibalik ketimpangan jumlah produksi artikel di Indonesia yang belum selaras dengan persepsi masyarakat terhadap isu-isu lingkungan.
Perebutan narasi masih didominasi oleh ambisi untuk memenangkan pasar pembaca dengan menyuguhkan topik yang justru kian menjauhkan mereka dari apa yang sebetulnya terjadi. Orientasi pasar dalam keuntungan rating pembaca masih menjadi berhala yang terus diperebutkan titahnya.
Menanggapi hal tersebut, algoritma pasar dengan sendirinya akan menunjukkan kebenaran mengapa media perlu memberikan konsentrasi lebih terhadap isu-isu lingkungan.
Editorial the Independent, Broughton, menegaskan bahwa tidak akan ada cerita yang lebih penting daripada isu-isu perubahan iklim dalam kurun waktu 50 tahun kedepan. Hal ini didasari oleh prediksi ilmuwan mengenai pemanasan global yang akan terjadi dalam beberapa puluh tahun kedepan.
David Wallace-Wells dalam bukunya juga menambahkan bahwa logika pasar akan menemui kerancuan dengan sendirinya. Hal ini dipaparkan dengan membeberkan perhitungan bahwa kenaikan suhu 1,5 derajat akan membuat dunia lebih kaya daripada 2 derajat.
Perhitungan ini menjadi bukti bahwa orientasi pasar yang mengkalkukasi untung rugi tidak dapat dijadikan patokan buta dalam menentukan pilihan yang akan berdampak pada 5-10 tahun mendatang.
Faktanya, media-media populer di Indonesia bahkan belum memiliki kanal khusus yang menjadi pusat publikasi isu-isu lingkungan meski memiliki potensi besar kedepan.
Contohnya, konten Jawa Pos dengan rating pembaca tertinggi berada pada kategori lifestyle. Potensi ini sebaiknya dapat dimanfaatkan agar mulai menggiring narasi Sustainability Lifestyle atau gaya hidup berkelanjutan yang memiliki dampak positif bagi lingkungan.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi sejumlah media di Indonesia untuk tidak menggantungkan potensinya dalam relasi untung rugi pasar pembaca.
Media di Indonesia perlu untuk menyadari peran besarnya sebagai aktor pencerdasan masyarakat dengan mulai menyediakan sumber-sumber literasi yang mampu menjangkau pembaca dan menarik mereka untuk berkontribusi terhadap pencegahan isu-isu lingkungan yang belakangan sering terjadi.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun