Ahmad Sholikin (Foto: PWMU.CO)
Ahmad Sholikin – Anggota Pemuda Muhammadiyah
PWMU.CO – Fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 menjadi peringatan serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Pemilihan yang seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaik kini semakin kehilangan esensinya. Calon tunggal, yang semakin sering muncul dalam kontestasi politik lokal, mencerminkan berbagai masalah struktural dalam sistem demokrasi kita, mulai dari lemahnya kaderisasi partai hingga dominasi pragmatisme politik yang menggerus semangat kompetisi.
Calon tunggal bukan sekadar sebuah anomali, tetapi gejala penurunan kualitas demokrasi yang perlu segera diatasi. Dengan hanya satu calon yang tersedia, pemilih tidak lagi memiliki pilihan nyata. Mereka terjebak antara memberikan dukungan kepada calon tunggal atau memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan. Ini adalah kemunduran bagi demokrasi yang sejatinya membutuhkan kompetisi sehat untuk mendorong munculnya pemimpin yang paling layak.
Dibalik fenomena ini, ada kenyataan pahit bahwa banyak partai politik di Indonesia masih gagal menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik. Alih-alih mempersiapkan calon-calon potensial dari berbagai lapisan masyarakat, partai lebih sering mengandalkan figur yang sudah populer atau memiliki sumber daya besar. Koalisi besar partai politik sering kali menyepakati untuk mendukung satu calon, mengorbankan esensi demokrasi demi kepentingan pragmatis.
Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini merujuk pada situasi di mana hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar untuk posisi Gubernur, Bupati, atau Wali Kota, yang mengakibatkan pemilih hanya memiliki pilihan untuk memilih pasangan calon tersebut atau kotak kosong.
Fenomena ini bukan hal baru, data menunjukkan peningkatan jumlah calon tunggal dari tahun ke tahun; pada Pilkada 2015 hanya ada tiga calon tunggal, lalu Pilkada 2017 bertambah menjadi sembilan calon tunggal. Dia melanjutkan, dalam Pilkada 2018 bertambah menjadi 16 calon tunggal, dan Pilkada 2020 naik menjadi 25 calon tunggal (Bawaslu, 2021). Dari 53 kasus calon tunggal yang ada, hanya satu calon yang pernah mengalami kekalahan. Artinya, peluang kemenangan calon tunggal pada pilkada sangat tinggi, mencapai 98,11 persen.
Fenomena meningkatnya fenomena calon tunggal ini terjadi diantaranya karena; pertama, presentase kemenangan yang sangat tinggi dari calon tunggal. Maka muncul pandangan bahwa menjadi calon tunggal adalah menjadi pemenang dalam kontestasi pilkada. Hal ini didukung data, bahwa saat ini 90 persen kepala daerah maju melalui jalur partai politik. Sehingga, tiket untuk maju menjadi bakal calon kepala daerah (bacakada) sangat bergantung pada partai politik. Dampak yang terjadi adalah adanya gerakan politik yang diarahkan agar tiket parpol hanya diberikan pada satu paslon saja.
Poin kedua adalah, karena banyak partai politik yang belum memiliki sistem rekrutmen yang demokratis dan efektif, sehingga pencalonan sering kali bersifat pragmatis dan jangka pendek. Poin ketiga adalah, ketentuan ambang batas pencalonan yang telah di ubah dengan putusan MK, dengan ambang batas pencalonan di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Hal ini sangat membatasi bagi partai politik dalam upaya untuk mencalonkan kandidat baru. Poin yang terakhir adalah, tingginya syarat dukungan untuk calon perseorangan menjadi penghalang bagi banyak calon untuk mendaftar, sehingga mengurangi jumlah calon yang bersaing.
Dampak Terhadap Demokrasi
Fenomena calon tunggal merupakan sebuah anomali dalam konteks demokrasi. Situasi ini menciptakan iklim yang tidak kompetitif dan dapat menyebabkan apatisme di kalangan pemilih. Tanpa adanya pilihan yang beragam, pemilih mungkin merasa kurang berdaya dan tidak terlibat dalam proses demokrasi. Hanya terdapat satu calon dalam kontestasi Pilkada, menunjukkan terjadinya kegagalan dalam pendidikan politik di Indonesia. Dimana masyarakat dan partai politik tidak berhasil menciptakan iklim kompetisi yang sehat untuk pemilihan pemimpin daerah.
Calon tunggal dalam pilkada menandakan lemahnya partai politik dalam menawarkan pilihan yang beragam kepada pemilih. Hal ini akan berdampak pada; (1) kurangnya pilihan: dengan hanya ada satu calon, pemilih tidak memiliki opsi untuk memilih calon lain. Ini dapat menurunkan minat dan partisipasi dalam pilkada. (2) Overdominasi satu/seklompok parpol: ketika satu/sekelompok parpol mendominasi, ada risiko bahwa suara dan kepentingan kelompok lain akan terabaikan.
Dampak yang ke-3 adalah, adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan. Calon tunggal cenderung merasa memiliki kekuasaan tanpa adanya pengawasan atau tantangan yang memadai, yang dapat mengarah pada kebijakan yang tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. (4) Penurunan kualitas demokrasi: ketika hanya ada satu opsi, akan ada kelemahan dalam kompetisi politik. Ini dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. (5) Munculnya apatisme politik: Ketidakadaan alternatif dapat menimbulkan rasa apatis di kalangan pemilih, yang dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan terhadap sistem demokrasi.
Dampak yang terakhir adalah terjadinya stagnasi inovasi. Dengan tidak adanya kompetisi yang sehat, inovasi dalam kebijakan dan pendekatan politik cenderung terhambat. Sehingga secara keseluruhan, fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem politik Indonesia dalam menciptakan proses pemilihan yang lebih inklusif dan kompetitif semakin berat.
Editor Teguh Imami