Oleh: Faruq Ahmad Futaki
Manager Bankziska Lazismu Jawa Timur
PWMU.CO – Peran Lazismu dalam Pasar Ta’awun tidak diragukan lagi. Kaum miskin dhuafa tak mampu hidup dalam ruang transaksional yang keras. Dalam konteks keuangan, hal ini pun dialami oleh mereka yang hidup dibawah had kifayah.
Dalam Rakerwil Bankziska 2024 di Magetan Dr Imron ekonom Islam Universitas Airlangga, menyampaikan bahwa kemiskinan terjadi karena kurangnya literasi keuangan kaum miskin.
Lantas dia mencontohkan hasil penelitian nelayan pesisir utara pulau Jawa yang tiba-tiba jatuh miskin semiskin-miskinya pada bulan tertentu dan tiba-tiba banyak uang dan menghambur-hamburkannya pada bulan tertentu. Sehingga, dia berkesimpulan kemiskinan terjadi karena kultur (budaya miskin).
Beda dengan Dr Imron, Prof.Yunus, founder Grameen Bank meyakini bahwa kemiskinan tidak terjadi karena kultur, namun terjadi karena sistem ekonomi yang tidak berkeadilan.
Grameen Bank merupakan anti tesis dari bank mainstream. Bank modern membiayai orang yang layak dan bankable. Sebaliknya Grameen membiayai orang yang tak layak dan tak bankable. Bahkan pengemis pun dibiayai.
Konsep Dr Imron mungkin benar, namun konsep Prof Yunus saya fikir lebih rasional dan meyakinkan. Setidaknya dalam tataran yang lebih makro dan sistemik. Sistem ekonomi saat ini memang tidak berpihak pada kaum lemah.
Kinerja Bank
Dalam konteks funding misalkan, bank menyedot uang masyarakat tanpa syarat. Namun dalam konteks kredit bank hanya melayani mereka yang spesial. Mereka yang tak spesial, lantas dilayani oleh siapa?
Saat pengukuhan Prof Nafik sebagai Guru Besar Ekonomi Islam Unair, dia berorasi tentang pasar ta’awun. Yang kurang lebih penjelasannya begini:
Pasar modern hanya melegitimasi Pasar Persaingan. Meletakkannya pada posisi sentral ekonomi di masyarakat. Dalam kontes pasar persaingan, Mereka yang mampu membeli harga akan selalu eksis di dalam Pasar.
Sedangkan mereka yang tidak mampu membayar harga akan terpinggirkan, terlindas dan akhirnya mati. Pasar persaingan membawa banyak korban orang-orang kalah yang terus menerus dalam kekalahannya. Terus menerus menjadi marjinal.
Dalam logika pasar persaingan. Yang kuat menjadi besar dan terus membesar tanpa belas kasih pada mereka yang kecil. Pasar Ta’awun sebaliknya. Pasar ta’awun menawarkan konsep pertolongan. Tidak pada persaingan.
Mereka yang telah ikhtiar dan dengan takdir Allah Swt membesar akan membantu yang kecil. Mereka yang telah mampu membayar harga pasar tidak serta merta meninggal yang tidak mampu membayar harga pasar.
Di forum ilmiah itu, lantas Prof Nafik mencontohkan Pasar Ta’awun Bankziska. Alur ini coba akan saya uraikan dalam pasar keuangan.
Mereka yang besar akan dibiayai oleh bank. Tentu karena feasible dan bankable. Dengan fasilitas bunga atau marjin yang rendah. Mereka dapat mengakses modal yang besar dan terus menjadi besar.
Sedangkan kaum menengah kecil. Mereka mengakses lembaga keuangan mikro, sayangnya lembaga ini masih menggunakan “feasible dan bankable“. Kondisi ini semakin memperburuk. Mereka tidak mampu mengaksesnya. Seandainyapun mampu, mereka masih harus membayar harga bunga yang lebih tinggi dari pada kaum pengusaha pengusaha besar.
Fenomena Bank Thithil Plecit
Sedangkan, sebenarnya mereka tidak mampu membayar harga pasar keuangan. Akses susah pada LKM, tampila Bank Thithil Plecit bak pahlawan. Menawarkan akses kredit luwes dan mudah pada kaum lemah. Cukup KTP. Pinjam diantar, angsur dan dijemput.
Namun, bukannya menolong bank ini malah menghajar kaum lemah dengan harga bunga ratusan ribuan persen. Babak belur lalu perlahan mereka mati mengenaskan.
Akses luwes dan mudah menjadi alat masuk yang kemudian membunuh kaum ultra mikro dengan cepat. Utang lima enam juta cukup membuat kaum ultra mikro sesak bernafas dan linglung tanpa kendali.
Itulah potret Pasar Keuangan. Dengan episentrum kapitalisme yang sekarang terus berkembang. Mereka yang tak mampu membayar harga pasar. malah harus membayar harga tinggi, yang secara cepat malah membunuhnya.
Bankziska hadir dengan konsep membantu mereka yang tidak mampu membeli harga pasar. Mereka yang kalah. Tak bisa hidup dalam pasar keuangan yang ganas.
Bankziska hadir memberi ruang bagi mereka yang papa. Mendampingi dan memberi dengan keuangan ramah dan tak mengandung kedzaliman.
Ada 3 proses utama dalam Bankziska. Pendampingan Keuangan, Pendampingan Bisnis dan Pendampingan Keagamaan. Bankziska memandang para nasabah sebagai keluarga sehingga menyebutnya Mitra. Suatu kondisi egaliter di dalam bankziska.
Bankziska memahami bahwa treatment pada ultra mikro bukanlah bisnis keuangan, tapi ta’awun keuangan. Ta’awun keuangan bukan transaksional. Ta’awun keuangan mengandung nilai rahim kasih sayang pada yang lain. Sehingga pondasi kekerabatan dalam bankziska adalah kekeluargaan murni berdasarkan silaturahim.
Editor Azrohal Hasan