PWMU.CO – Muhammadiyah mengambil surat Al-Maun sebagai dasar teologi dan gerakannya. Maka dari itu, Muhammadiyah condong pada dakwah melalui jalur sosial. Hal itu terbukti dengan banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang bergerak di bidang sosial seperti sekolah, rumah sakit, hingga panti asuhan.
Bicara kiprah pelayanan sosial Muhammadiyah di awal eksistensinya, tak lengkap jika tidak menyebutkan Moehammadijah Weeshuis, atau yang lebih dikenal dengan nama Roemah Jatim Moehammadijah.
Terkait keberadannya, tak tersedia cukup sumber primer dokumentasi yang berasal dari Muhammadiyah sendiri. Justru hal itu disebutkan oleh sumber eksternal (dari luar Muhammadiyah) yang tersebar dari tahun 1920-an sampai 1930-an.
Salah satu sumber tersebut adalah laporan koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda bernama Algemeen Handelsblas voor Nederlansch-Indië yang terbit di Semarang sejak tahun 1924.
Pada 29 Oktober 1928, koran Algemeen Handelsblas voor Nederlansch-Indië memiliki satu kolom khusus tentang Rumah Yatim Muhammadiyah. Kolom tersebut memang singat, hanya terdiri dari 9 baris termasuk judul.
Namun, jika diperhatikan lebih jauh, kolom ini mengirimkann pesan bahwa Rumah Yatim Muhammadiyah adalah suatu institusi baru bumiputera yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda, terutama kalangan Eropa yang menjadi pembaca koran ini.
Dalam kolom tersebut tertulis:
Een Inlandsch Weeshuis
Het hoofdbestuur van de vereeniging Moehammadijah heeft een flinke lap grond aangekocht in kampong Sarangan, Djokja met het doel daarop een gebouw op te zetten, waarin Inlandsche weezen zullen worden ondergebracht en verzorgd.
Voor dit doel heeft Moehammadijah een som van f 10.000 beschikbaar gesteld.
(Suatu Panti Asuhan Pribumi
Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah telah membeli sebidang tanah yang luas di kampung Sarangan, Yogyakarta, dengan tujuan untuk mendirikan bangunan tempat tinggal dan pengasuhan untuk anak yatim piatu pribumi.
Muhammadiyah telah menyediakan uang sebanyak f 10.000 untuk tujuan ini.)
Berita di atas memiliki beberapa hal menarik dan penting.
Yang pertama adalah Muhammadiyah menaruh perhatian besar pada usaha melindungi dan merawat anak-anak yang kurang beruntuh.
Dana sebesar f 10.000 cukup besar di masa itu. Sebagai perbandingannya, koran Algemeen Handelsblas voor Nederlansch-Indië berharga 15 sen per eksemplar dan harga langganannya adalah f 7,5 per tiga bulan. Untuk memastikan fasilitas memadai, Muhammadiyah membeli tanah yang berukuran besar.
Yang kedua adalah berita ini menandai perhatian yang semakin besar dari pers Belanda terhadap aktivitas sosial Muhammadiyah. Terlebih, jika mengingat fakta bahwa di edisi hari itu tidak hanya ada satu berita tentang Muhammadiyah. Total ada tiga berita di tiga kolom yang menyebutkan Muhammadiyah.
Pertama adalah tentang Rumah Yatim Muhammadiyah, kedua tentang posisi Muhammadiyah sebagai rival gerakan Ahmadiyah yang melebarkan pengaruh di Hindia Belanda, dan ketiga subsidi Departemen Hindia Belanda terhadap sekolah-sekolah, termasuk yang dimiliki Muhammadiyah.
Perkembangan Panti Asuhan Muhammadiyah
Satu dekade kemudian, Rumah Yatim Muhammadiyah semakin berkembang hingga keluar Yogyakarta. Di Malang Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) berdiri pada tahun 1934. Catatan sejarah menyebutkan ada 20-30 anak yang di asuh di panti asuhan ini di masa kolonial.
Secara finansial, panti asuhan ini mendapat topangan dari swadaya masyarakat sekitar serta bantuan tidak tetap dari pemerintah Hindia Belanda melalui gubernur jenderalnya. Salah satunya adalah dengan bantuan uang sebanyak 250 gulden (setara 80 kuintal beras) dari Ratu Belanda, Wilhelmina.
Tidak hanya Malang, menurut pengamatan salah satu referensi pokok tentang sejarah Hindia Belanda yang terbit di masa kolonial, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, pert tahun 1939, Muhammadiyah berhasil mendirikan panti asuhan di berbagai kota di Pulau Jawa.
Ensiklopedia tersebut menyebutkan sembilan kota yakni Yogyakarta, Kartasura, Tegal, Kutoarjo, Mojokerto, Malang, Bandung, Tasikmalaya, dan Meester-Cornelis (Batavia). Perlu diperhatikan bahwa ensiklopedi ini menekankan bahwa kota-kota yang disebut itu baru ‘o.a.’ (onder andere) atau ‘antara lain’. Artinya jumlah pasti PAM di tahun 1939 sebenarnya lebih banyak lagi.
Perlu digarisbawahi kekuatan finansial Muhammadiyah dalam mengatur panti asuhannya di masa itu. Hal ini tampak dalam sebuah artikel terkait usaha pemeliharaan orang miskin di Tegal yang dimuat koran Algemeen Handelsblas voor Nederlansch-Indië pada 18 Februari 1939.
Koresponden koran ini di Tegal menuliskan sebuah berita berjudul ‘Armenzorg in de Gemeente Tegal’ (Usaha Pemeliharaan Orang-orang Yang Kurang Beruntung di Tegal). Dalam salah satu bagiannya menyebutkan:
Het Moh. Weeshuis (Roemah Jatim) van Moehammadijah is in 1937 en 1938 ook betrokken geweest bij de gemeentelijke armenbedeeling, doch deze vereeniging kon zich in hoofdzaak zelf bedruipen, zoodat de door de gemeente verleende steun niet groot behoefde te zijn.
De subsidieering wordt o.a. afhankelijk gesteld van de eigen inkomsten, welke verkregen zijn.
(Panti Asuhan [Rumah Yatim] Muhammadiyah juga ambil bagian dalam administrasi yang berkenaan dengan orang miskin di kotapraja pada tahun 1937 dan 1938, tetapi perkumpulan ini terutama sekali mampu menghidupi dirinya sendiri, sehingga dukungan yang diberikan oleh pemerintah kotapraja tidak harus besar.
Subsidi tersebut, antara lain, bergantung pada pendapatan sendiri yang diperolehnya)
Dari kutipan itu diketahui bahwa kemampuan keuangan Muhammadiyah dalam hal ini pengadaan panti asuhan mendapat apresiasi dari kalangan Hindia Belanda. Kemampuan finansial Muhammadiyah dalam mengurus panti asuhannya membuatnya hampir sepenuhnya mandiri dari subsidi pemerintah kotapraja, setidaknya di Tegal. (*)
Penulis Wildan Nanda Rahmatullah Editor Azrohal Hasan