PWMU.CO – Mengambil spirit masa silam dengan bernostalgia ke tahun 1950. Demikian Ketua Badan Pengurus Pimpinan Pusat Lazismu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Hilman Latief PhD, mengawali pidato dalam Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) Lazismu se-Indonesia di The Sun Hotel, Sidoarjo (7/4). Hilman meminta izin ke peserta untuk mengutip pernyataan Pimpinan Pusat (dulu Pengurus Besar) yang terhimpun dalam buku “Kitab Zakat”.
“Silahkan Cabang atau Ranting memeriksa anggota Muhammadiyah yang tertulis dalam buku anggota. Berapakah yang masih dapat menjalankan Zakat dan berapa pula yang belum kuat menjalankannya… Tunjukanlah jalan kemampuan, dan berilah anjuran dengan gerakan yang dapat melatih mereka yang belum dapat memenuhi kewajiban zakat itu. Begitu juga kepada anak-anak kita supaya dilatih pula cara berzakat, dari uangnya yang masih sedikit itu, sehingga besarnya kelak dapat memenuhi kewajiban berzakat dengan sesungguhnya,” baca Hilman dengan merubahnya ke ejaan sekarang.
Menganalisa putusan Majelis Tarjih dalam Muktamar tahun 1950 yang sekaligus revisi putusan tahun 1942, kata Hilman, terdapat beberapa kata kunci dari pernyataan para pendahulu itu. “Pertama, Pengurus Besar Muhammadiyah mendorong semua anggota atau warganya untuk “menggembirakan” zakat. Artinya, berzakat bukan hanya keharusan karena adanya perintah agama, tapi juga kebutuhan manusia sebagai makhluk yang hidup secara kolektif.”
(Baca: Rakornas Integrasikan Sistem Pelaporan)
Kata kunci kedua, tambah penulis buku “Melayani umat: filantropi Islam dan ideologi kesejahteraan kaum modernis” ini, adalah Muhammadiyah menginginkan zakat menjadi gerakan yang terorganisir. Kalimat memeriksa anggota yang tercatat dalam buku anggota, kata Hilman, menunjukkan berzakat bukan sekedar beramal saleh, tetapi juga berorganisasi, yang memerlukan kecakapan, ketelatenan, dan kehati-hatian. “Catat-mencatat adalah salah satu inti dari pengelolaan zakat, yang dalam era sekarang disebut sebagai bagian dari akuntabilitas,” tegasnya.
Ketiga, Muhammadiyah memaknai praktik berzakat bukan sekedar memenuhi kaidah-kaidah fiqhiyyah semata-mata, melainkan membangun tradisi dan etos untuk menyemaikan nilai-nilai kebaikan kepada sesama. “Untuk menanamkan tradisi berzakat (berinfak), perlu sistem pendidikan yang baik dan harus diterapkan sejak dini kepada anak-anak,” tegas Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan, Penelitian, dan Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
(Baca: Tidak Ada Alasan Lazismu Tidak Profesional)
“Pernyataan yang dirumuskan lebih dari setengah abad yang lalu itu, tentu masih dapat kita gunakan sebagai landasan untuk menjaga semangat dalam membangun solidaritas dan merekatkan ukhuwah melalui kegiatan berzakat, infak dan sedekah.” Meskipun demikian, tambah Hilman, menggembirakan zakat di era sekarang ini bukanlah perkara gampang. “Diperlukan kerja-kerja keras dan strategis untuk dapat menggembirakan ajaran salah satu rukun Islam ini,” pungkasnya. (kholid)