Oleh: Candra Dwi Aprida (Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU)
PWMU.CO – Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, yang dirayakan secara meriah di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, bukanlah sekadar tradisi tahunan yang ritualistik.
Lebih dari itu, Maulid harus dipahami sebagai momentum penting untuk refleksi mendalam, penguatan iman, dan peningkatan kualitas ibadah serta akhlak. Dalam konteks ini, semangat filantropi yang diusung oleh Muhammadiyah memberi warna tambahan pada peringatan Maulid, menjadikannya ajang untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan dalam ajaran Islam.
Maulid Nabi Muhammad Saw merupakan momen untuk mempertegas kecintaan kepada Rasulullah Saw. Dalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 31, “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad). Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”
Ayat ini menegaskan bahwa cinta kepada Allah harus diwujudkan dengan mengikuti ajaran Rasul-Nya. Kecintaan yang nyata kepada Nabi Muhammad Saw harus tercermin dalam tindakan, baik dalam aspek ibadah maupun dalam kontribusi sosial.
Nabi Muhammad Saw adalah teladan utama dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan keteladanan. Beliau mengajarkan bahwa ibadah harus dilakukan dengan kesungguhan dan disiplin yang tinggi. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya” [HR Bukhari: 6035, Muslim: 2321, Ahmad: 6505], hadits ini menggarisbawahi bahwa akhlak yang mulia adalah manifestasi dari kecintaan kepada Nabi.
Peringatan Maulid seharusnya menjadi kesempatan untuk meneladani akhlak mulia Nabi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan pribadi maupun sosial.
Semangat filantropi Muhammadiyah merupakan wujud nyata dari ajaran Nabi Muhammad Saw tentang kontribusi sosial. Muhammadiyah, sebagai organisasi yang dikenal dengan komitmennya dalam bidang sosial dan pendidikan, mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Rasulullah melalui berbagai inisiatif sosialnya.
Dalam konteks peringatan Maulid, semangat filantropi ini bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan amal seperti bantuan kepada yang kurang mampu, pelayanan kesehatan, dan penguatan program pendidikan.
Dengan mengintegrasikan filantropi dalam peringatan Maulid, umat Islam dapat menjadikan acara ini sebagai momentum untuk memperkuat upaya membantu masyarakat dan mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Lebih lanjut, Maulid Nabi juga memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas ibadah. Rasulullah Saw menunjukkan pentingnya menjaga ibadah dalam segala kondisi.
Hadits dari Imran bin Hushain menjelaskan, “Shalatlah kamu dengan berdiri, jika kamu tidak mampu maka (shalatlah) dengan duduk, jika kamu tidak mampu maka (shalatlah) dengan berbaring” (HR Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hadits ini mengajarkan bahwa ibadah harus tetap dijaga meskipun dalam kondisi sulit. Peringatan Maulid seharusnya mendorong umat Islam untuk meningkatkan kedisiplinan dalam ibadah, baik shalat, puasa, zakat, maupun amalan lainnya.
Selain itu, peringatan Maulid Nabi mengingatkan pentingnya amal ibadah sosial. Rasulullah Saw tidak hanya mengajarkan hubungan dengan Allah, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia.
Hadits yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a.. Dishahihkan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah) menegaskan bahwa kontribusi sosial adalah bagian integral dari ajaran Islam.
Dalam hal ini, semangat filantropi Muhammadiyah memberikan contoh konkret. Melalui program-program sosialnya, Muhammadiyah menunjukkan bagaimana ajaran Nabi dapat diterapkan dalam konteks modern untuk memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.
Nabi Muhammad Saw juga menunjukkan bagaimana membangun peradaban dengan memperkuat akidah dan menerapkan ajaran Islam sesuai dengan konteks zaman. Selama 13 tahun pertama dakwahnya di Makkah, Nabi fokus pada penguatan iman umat, sebelum kemudian menyampaikan kewajiban seperti zakat, puasa, dan haji.
Kewajiban shalat bahkan diturunkan di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, Nabi menunjukkan fleksibilitas dalam penerapan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat. Ini menunjukkan pentingnya memperbarui pemahaman dan praktik agama sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sambil tetap berpedoman pada prinsip-prinsip syariat yang benar.
Penerapan ilmu pengetahuan yang kontekstual dengan ajaran Islam, seperti yang dilakukan Muhammadiyah dalam pengembangan ilmu falak, adalah contoh bagaimana Islam dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Maulid menjadi pengingat bahwa umat Islam tidak boleh kaku dalam menjalankan ajaran agama, tetapi harus terus memperbarui pemahaman dan praktik sesuai perkembangan ilmu pengetahuan, asalkan tetap berpedoman pada prinsip-prinsip syariat yang benar.
Secara keseluruhan, Maulid Nabi Muhammad Saw harus dimaknai lebih dari sekadar perayaan rutin tahunan. Ini adalah kesempatan untuk memperkuat iman, meningkatkan kualitas ibadah, dan memperkuat kontribusi sosial dengan semangat filantropi.
Peringatan Maulid seharusnya menjadi momen refleksi untuk meneladani ajaran Nabi Muhammad Saw secara menyeluruh, baik dalam aspek ibadah pribadi maupun dalam peran sosial di masyarakat. Melalui semangat filantropi Muhammadiyah, peringatan Maulid dapat dijadikan ajang untuk mempertegas komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah