Oleh: Anang Dony Irawan (Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU)
PWMU.CO – Sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhammad Saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai Kepala Negara. Dengan hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah menjadi tonggak sejarah baru dalam perkembangan agama Islam dan perpolitikan yang menyertainya.
Rasulullah selain mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara di Madinah.
Kalau kita membaca politik, makna kata politik itu berasal dari bahasa Belanda politiek dan dan dalam bahasa Inggris politics, yang masing-masing dari kata itu bersumber dari bahasa Yunani (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota).
Secara etimologi kata ”politik” itu sendiri masih ada hubungannya dengan kata dengan kata policy yang berarti kebijakan. Sehingga, politik dapat dimaknai sebagai proses dari pembentukan dan pembagian kekuasaan di dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya keputusan dalam negara. Sedangkan di dalam bahasa Arab sendiri, politik lebih dikenal dengan istilah Siyasah.
Apalagi kita yang saat ini tinggal di Indonesia, tak ada satu orang pun yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara dengan sistem politik yang ada, sedangkan negara merupakan organisasi politik yang tertinggi.
Politik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak ada seorang pun bisa lepas dari politik. Begitu kita terlahir, kita sudah tergabung dengan sistem organisasi tertinggi dari politik, yakni negara.
Dengan kata lain, tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Bagi orang yang ingin mempengaruhi kebijakan suatu negara, maka dia harus bisa merebut kekuasaan politik itu. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam kegiatan politik dan membiarkan kekuasaan politik itu diambil orang lain, maka dia akan terikat pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan yang dibuat oleh pemenang kontes itu.
Karenaya, bisa dikatakan bahwa politik itu merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari atau fitrah. Politik merupakan ketatanegaraan atau pemerintahan. Bahkan ada yang memberikan makna lain bahwa politik adalah kajian tentang kekuasaan atau seni memerintah.
Rasulullah Saw sebagai kepala negara, setiap keputusan yang beliau tetapkan selalu dilakukan melalui musyawarah dengan para sahabat, beliau tidak bersikap otoriter. Proses musyawarah sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah, semua yang hadir dalam musyawarah berhak mengeluarkan pendapat tentang sesuatu yang menjadi pokok masalah.
Rasulullah tidak pernah bersikap lebih dominan daripada sahabat-sahabatnya dalam pengambilan setiap keputusan yang penting. Pemerintahan beliau lebih bercorak demokratis, suatu hal yang menakjubkan bagi para penulis sejarah politik. Bahkan Rasulullah membuat sebuah perjanjian yang telah kita dikenal bersama dengan nama ”Piagam Madinah”.
Perjanjian tersebut mengandung adanya kesepakatan atas jaminan kebebasan di bidang politik dan agama. Perjanjian tersebut secara implisit menyebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan yang mempunyai otoritas mutlak.
Maka, seluruh anggota masyarakat dalam pemerintahan beliau berkewajiban untuk mempertahankan keamanan negeri. Selain itu, Rasulullah Saw dalam memimpin pemerintahannya tidak pernah sekalipun memikirkan sebuah kerajaan, kekayaan, dan perniagaan lainnya.
Nabi Muhammad Saw ketika membangun pemerintahan yang berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan kekuasaan pada umumnya yang bercorak monarki absolut. Tujuan dari pemerintahannya hanya pada bagaimana memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan adanya jaminan kebebasan bagi semua dalam menganut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Yang perlu menjadi perhatian kita bersama, meskipun pada masa Rasulullah belum mengenal teori pemisahan ataupun pembagian kekuasaan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan trias politica, suatu konsep politik yang pertama kali dikemukakan oleh John Locke dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu.
Di mana tujuan trias politica ini adalah untuk mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut. Namun Rasulullah Saw telah mewujudkan dalam pemerintahannya. Pembagian tugas dalam kenegaraan yang ditunjukkan oleh Rasulullah dengan cara mengangkat orang yang memenuhi syarat misalnya wazier (menteri), katib (sekretaris), wali (gubernur), ‘amil (pengelola zakat), dan qadhi (hakim).
Piagam Madinah menjadi salah satu piagam yang paling demokratis dan masih tetap relevan hingga saat ini. Rasulullah saw. Telah memberikan teladan bagi umat Muslim untuk dapat membangun basis politik yang sesuai kaidah-kaidah syar’i tanpa menyakiti orang lain. Karena sejatinya, dalam berbagai aspek kehidupan tidak lepas dari hal berbau politik.
Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw sangat berpegang teguh kepada Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah. Nilai-nilai sosial dan politik dalam Piagam Madinah berpijak pada prinsip universalisme Islam yang bersumber dari al-Qur’an.
Di sisi lain, Piagam Madinah sebagai konsensus politik kolektif yang lahir dari kondisi sosio-kultural masyarakat Madinah yang majemuk. Seluruh pihak (penduduk madinah yang majemuk) yang terlibat dalam konsensus politik tersebut disebut sebagai ummatun wahidah, tidak peduli apa latar belakang agama dan ras mereka.
Rasullullah Saw merupakan pemimpin yang selalu mentaati konstitusi yang telah dibuat dari konsensus bersama adalah contoh yang sangat patut untuk diteladani. Jangan sampai ada pemimpin di Indonesia ini ada yang tidak patuh terhadap konstitusi negara yang merupakan hasil konsensus bersama. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah