Oleh: Arief Hanafi – Wakil Ketua Bidang Riset, Teknologi dan MSDM Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo. (Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU)
PWMU.CO – Sejarah Islam mencatat, kedudukan dan peran perempuan mengalami pasang surut sejalan dengan budaya yang berlaku pada masanya. Pada masa pra-Islam posisi perempuan berbeda dengan masa Islam. Dalam hal pernikahan misalnya, pada masa pra-Islam banyak model pernikahan yang banyak merugikan bahkan menindas kaum perempuan.
Selain itu, pihak perempuan tidak mendapat hak-hak mereka secara adil. Bahkan mereka kehilangan eksistensi kemanusiaannya. Seperti diungkapkan Khalifah Umar bin Khatab, sebelum dirinya masuk Islam, lahirnya seorang anak perempuan di keluarganya bagaikan aib bagi keluarga. Apalagi jika mereka mempunyai kedudukan yang terhormat dalam kelompok masyarakat. Maka untuk menutupi aib tersebut, anak perempuan yang baru lahir harus dibunuh.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Quraish Shihab dalam Sahroji (2014), yang menyebutkan, setidaknya ada tiga faktor utama motif pembunuhan kepada anak-anak mereka. Pertama, orang tua saat itu takut miskin karena harus menanggung biaya anak perempuan yang tidak mandiri dan tidak produktif. Kedua, karena ketakutan orang tua kala itu jika anak perempuannya diperkosa atau berbuat zina. Ketiga, kekhawatiran orang tua jika terjadi peperangan antar suku, maka anak perempuannya akan menjadi tawanan musuh.
Sebaliknya, laki-laki justru memperoleh kesempatan yang lebih besar daripada perempuan. Dalam konteks masyarakat kabilah misalnya, perang dianggap sebagai salah salah satu kesempatan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Tugas perang umumnya dipegang laki-laki. Jika menang dalam suatu perang, maka laki-laki yang berkompeten akan mengatur harta rampasan (ghanimah).
Selain itu, laki-laki tidak hanya mengontrol jumlah populasi penduduk dalam suatu kabilah. Jumlah penduduk yang lebih besar daripada sumber daya alam yang dimiliki suatu kelompok suku akan menimbulkan berbagai masalah. Maka dari itu, perang bisa dilihat sebagai efek sekaligus alat pengendalian jumlah penduduk.
Titik Balik Perempuan
Kehadiran Rasulullah SAW sebagai sosok revolusioner sejati membawa perubahan besar bagi dunia perempuan khususnya, dan bagi semua kehidupan secara umum. Dalam konteks ini, perempuan tidak dipandang sebagai manusia nomor dua (the second class), tetapi diangkat derajatnya pada posisi yang sama dengan laki-laki.
Dalam suatu hadits dikisahkan bahwa ada seorang perempuan bernama Jamilah istri sahabt Tsabiq bin Qais mengajukan cerai (khulu’) karena sudah tidak bisa lagi hidup serumah dengan suaminya, sekalipun suaminya termasuk orang yang baik dan taat beragama. Namun mendengar peristiwa tersebut Rasulullah SAW menanggapinya dengan tidak melecehkan atau menyalahkan perempuan tersebut. Nabi tentu sangat memahami betul bahwa setiap orang mempunyai masalah rumah tangga dan di saat yang sama nabi tidak menganggap Jamilah sebagai istri yang tidak berbakti pada suami (Subhan, 2008).
Tidak hanya dalam kondisi normal, di saat perang, Rasulullah SAW kerap memberi kepercayaan kepada Ar-Rubayyi’ binti Mu’awidz untuk menjadi garda terdepan dalam merawat korban perang. Sahabat perempuan nabi ini memiliki dedikasi yang tinggi untuk melindungi nabi. Dalam Riwayat lain perempuan yang terkenal dengan kecerdasan dan wawasan yang luas tersebut berkontribusi besar dalam urusan menyiapkan logistik (Widaningsih, 2021).
Sebuah Refleksi
Sejarah mencatat kedudukan perempuan setelah masa kenabian mengalami kemunduran. Perempuan sepeninggal Nabi mengalami marginalisasi di ruang publik. Hal tersebut sebagai penanda bahwa umat Islam pasca Nabi tidak sepenuhnya ‘move on’ dari tradisi patriarki. Maka, untuk meneruskan misi tersebut, diperlukan usaha untuk terus belajar memahami dan mengeksplorasi ‘ayat-ayat kesetaraan gender’ dalam al-Quran.
Penafsiran ulang tentang makna Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa misalnya, mempunyai pemaknaan yang berbeda. Penjelasan Dr Zaitunah Subhan (2019) dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian (Studi Bias Gender dalam al-Quran) mengatakan bahwa istilah gender dalam al-Quran memiliki makna yang signifikan.
Dalam buku tersebut, makna ar-rijal tidak identik dengan jenis kelamin laki-laki saja, tetapi lebih bermakna sosiologis yang berarti maskulin. Jadi menurut pemahaman penulis, sifat maskulin dalam konteks rumah tangga diartikan sebagai pihak yang aktif dalam mencari nafkah. Maka menurut pemahaman ini, tidak hanya suami saja yang menyandang sebutan ar-rijal, namun jika seorang istri yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka istri juga menyandang ar-rijal.
Di sisi lain, istilah an-nisa’, yang bermakna feminis, bisa saja dari pihak laki-laki maupun istri yang berperan pasif dalam kehidupan sosial. Jika mengikuti pemahaman ini, laki-laki yang tidak bekerja dalam lingkup keluarga, maka laki-laki tersebut bisa disebut feminim.
Proses penafsiran dan pamahaman seperti ini agaknya perlu digiatkan. Bukan tanpa alasan, pasalnya interpretasi semacam ini membawa masyarakat pada sikap yang lebih kritis dan terbuka. Dengan demikian, spirit Islam yang ditampilkan adalah Islam yang egaliter, humanis, adil tanpa ada ketimpangan dalam praktik-praktik sosial. Bukankah Rasulullah SAW membawa Islam dalam rangka membebaskan umat dari belenggu penindasan dan kebodohan?.
Editor Ni’matul Faizah