Muhsin MK (Foto:PWMU.Co)
Muhsin MK – Pegiat Sosial
PWMU.CO – Menjadi pemimpin zaman modern ini memang lebih banyak godaan dan gangguannya. Demikian pula pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Salah satu godaan dan gangguannya adalah teknologi informasi yang semakin canggih. Kehadiran handphone (HP) atau sejenisnya, di satu sisi bisa mendukung dan membantu tugas kepemimpinannya. Namun pada sisi lain bisa mengganggu dan menggodanya.
Sudah berapa anggota DPR yang berhenti hanya gara gara alat komunikasi tersebut. Terutama konten yang mengganggu dan menggodanya saat sedang bersidang. Walau hal itu terjadi bukan karena HP atau gadgetnya, tapi kecenderungan pribadinya. HP atau Gadget itu sendiri merupakan benda yang bersifat netral. Hanya di dalam benda itu berisi konten yang baik dan buruk, yang membangun dan merusak, yang mengajak dan mendorong kebajikan, dan yang mengganggu dan menggoda pribadi manusia.
Namun bukan soal kontennya saja. HP atau sejenisnya juga memiliki perangkat yang dapat membuat pemimpin terganggu dan tergoda karenanya. Tak terkecuali pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Salah satunya adalah perangkat tustel atau foto. Dengan tustel dan foto ini para pemimpin di setiap tingkatan kerap melakukan Selfie atau swafoto. Selfie ini untuk menunjukkan dirinya yang berada dan pada saat melakukan aktifitas kepemimpinannya dalam masyarakat.
Sebagai individu bagi seorang pemimpin tidak ada larangan untuk melakukan Selfie. Selfie atau swafoto adalah mengambil foto tentang diri sendiri dengan menggunakan HP pribadi dan sejenisnya. Karena tidak ada wartawan atau fotografer yang memfotonya, pada zaman sekarang ya bisa dilakukan dengan foto sendiri. Namun demikian sebagai pemimpin yang menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya, tentu perlu berhati hati dalam melakukan Selfie. Apalagi setelah itu disiarkan melalui berbagai media.
Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu yang diituruti, ke bakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya”. (HR Abu Syaikh dan Tabrani lihat dalam Mu’jam Ausath. Lihat shahih Jamius Shagir no 3039 dan Silsilah A haadist Ash shahihah no 1802).
Bagi pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah yang perlu dan lebih baik dilakukan saat melakukan kegiatan bukan Selfie, tapi Self Quality (Self-Q). Artinya berkaitan dengan kualitas dirinya sebagai pemimpin dalam melaksanakan kegiatan di lingkungan persyarikatan dan masyarakat. Ini juga berkaitan dengan kemampuannya dalam menggerakkan anggota Persyarikatan atau masyarakat di lingkungannya untuk suksesnya kegiatan organisasi yang sudah diprogramkan.
Dalam soal melaksanakan acara dan kegiatan di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah tidak asing lagi. Acara demi acara berjalan baik, sistematis dan tidak bertele-tele. Sebagaimana menyelenggarakan kegiatan pengajian dan Tabligh Akbar sebagai contoh kecil. Umumnya ustadz yang bicara dalam acara hanya satu orang saja termasuk yang menjadi pengisi tablighnya. Di persyarikatan pada umumnya penceramah tidak sampat dua tiga orang atau lebih. Sebab, selain itu memakan waktu, juga akan menambah biaya kegiatannya. Penghematan keuangan organisasi termasuk menjadi pertimbangannya.
Pada saat melaksanakan pembangunan masjid, dalam Muhamadiyah tidak ada pengumpulan dana di jalan jalan. Apalagi adanya petugas khusus yang menggunakan pengeras suara. Pemimpin dan ketua panitia yang diamanatkan akan berusaha menggerakkan pengumpulan dana dari rumah ke rumah warga persyarikatan, jamaah masjid dan masyarakat umum yang bersimpatik pada kegiatan pembangunan masjid. Ada juga pemasukan dan menerima bantuan dari Muhsinin, baik pihak swasta atau pun instansi pemerintah.
Demikian pula dalam melaksanakan pendirian Taman Kanak Kanak dan Pendidikan Anak Usia Dini Aisyiyah Bustanul Athfal (TK-PAUD ABA), tak pernah persyarikatan mengemis dalam proses pembangunannya. Bayangkan dengan Self-Q pemimpinnya, salah satu Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) di Kota Depok bisa membeli tanah dan bangunan bekas tempat permainan Billiard yang mengandung unsur maksiat. Dari tanah itu kini berdiri TK ABA 27 Pasar Agung dan Gedung Dakwah Muhammadiyah dan Aisyiyah Abadijaya.
Karena itu pemimpin dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah selalu berusaha melaksanakan aktivitas dan kepemimpinannya bukan untuk pencitraan diri dan pamer kepada publik dengan Selfie dan menyiarkannya lewat media sosial. Pemimpin Persyarikatan selama ini yang lebih diutamakan adalah Self-Q nya, sebagaimana dicontohkan oleh KH Ahmad Dahlan dan tokoh Muhammadiyah lainnya. Umumnya mereka cenderung dan tidak ingin menonjolkan diri sendiri dalam menjalankan kepemimpinannya. Mereka hanya ingin dapat menunaikan amanah kepemimpinannya dengan baik sampai masa bakti dan periodenya selesai.
Bisa saja ada yang berpandangan bahwa pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah zaman dahulu belum mengenal teknologi digital, apalagi HP dan sejenisnya. Berbeda dengan zaman modern saat ini yang rata rata tidak bisa melepaskan diri dari teknologi digital tersebut. Namun persoalan utamanya bukan pada masalah ada atau tidaknya teknologi yang mendukung kepemimpinannya. Adapun yang utama adalah bagaimana memanfaatkan teknologi tersebut untuk mendukung Self-Q nya. Dengan demikian yang ditampilkan bukan tentang siapa dirinya. Melainkan bagaimana dirinya sebagai seorang pemimpin melaksanakan aktivitasnya dengan baik dan berhasil. Tentu hasil kuantitas dan kualitas kerjanya yang dikedepankan, bukan wajah dan sosok pribadinya.
Meski pada akhirnya berpulang kepada niat dan motivasi masing masing pemimpin, namun yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa kepemimpinan itu suatu amanah dari Allah dan para anggota yang harus ditunaikan dan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Tanggungjawab inilah yang berat dipikul. Karena itu setiap pemimpin akan lebih baik mengedepankan Self-Q dalam memimpin, dari pada Selfie-nya. Self-Q merupakan bukti kemampuan dan kualitas kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Hal ini bukan berarti pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah dilarang melakukan Selfie. Apalagi itu diperlukan buat kepentingan dokumentasi pribadi dan keluarga, bukan untuk melakukan pencitraan dan pamer diri di media. Hanya saja yang perlu difahami sebagai panutan dalam persyarikatan dan masyarakat, bahwa bukti keberhasilan seorang pemimpin itu bukan pada berapa banyak foto dirinya yang terpajang. Melainkan pada bukti amal nyata dan aktifitas real yang dikerjakan dan ditinggalkannya. Apalagi hasilnya menjadi sebuah wujud peradaban Islam yang berkemajuan. Kepemimpinannya tentu benar benar memberikan banyak manfaat dan maslahat bagi ummat, masyarakat dan kemanusiaan kini dan mendatang.
Editor Teguh Imami