PWMU.CO – Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Prof Dr Khozin MSi menyoroti paradoks umat Islam, terutama di Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam Kajian Ahad Pagi di Masjid Taqwa Perguruan Muhammadiyah Gresik, Jalan KH Kholil 90, Gresik, Jawa Timur, Ahad (22/9/2024).
Kajian yang diinisiasi oleh Majelis Tabligh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Gresik ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat Muhammadiyah Kecamatan Gresik. Termasuk juga pengurus dan anggota PCM, Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA), serta Organisasi Otonom (Ortom).
Tidak hanya itu, staf guru dan karyawan TK Aisyiyah 1 Gresik, TK Aisyiyah 24 BP Wetan, SD Muhammadiyah Kompleks Gresik (SD Mugres), SMP Muhammadiyah 1 Gresik, tidak terkecuali pula karyawan Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik, serta warga dan simpatisan Muhammadiyah juga turut hadir dalam acara ini.
Dalam ceramahnya, Khozin menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini, terutama yang ada kaitannya dengan kehidupan sosial dan spiritual. Pada bidang pendidikan misalnya, sebagai Ketua Dikdasmen dan PNF PWM Jatim, ia berulang kali menyuarakan pentingnya menjaga kebersihan dan kenyamanan di lingkungan pendidikan. Menurutnya, kebersihan merupakan manifestasi ajaran Rasulullah SAW.
“Tidak boleh ada sekolah yang kotor dan kumuh karena hal ini bertentangan dengan ajaran Rasulullah,” ujarnya.
Ia mengutip kitab Syamail Muhammadiyah karya Imam At-Tirmidzi yang salah satu isinya menggambarkan bagaimana Rasulullah di kehidupan sosialnya selalu memperhatikan kebersihan dan kenyamanan lingkungan.
Lebih lanjut, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menjelaskan bahwa hakikat pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, adalah belajar. Hakikat belajar adalah membaca, sedangkan hakikat membaca adalah mempertanyakan kembali (bersikap kritis).
Ia menekankan bahwa proses belajar bukan hanya sebatas menghafal, melainkan juga harus diiringi dengan sikap kritis.
“Membaca bukan hanya melihat teks, tetapi juga mempertanyakan dan mengonfirmasi. Hal ini harus berujung pada kemampuan kita untuk bermanfaat bagi orang lain,” jelasnya.
Ceramah ini juga mengangkat pandangan Syekh Muhammad Abduh yang pernah mengatakan, “Aku menemukan Islam di Paris, tetapi tidak menemukan orang Muslim. Saat kembali ke Mesir, aku menemukan orang Muslim, tapi tidak menemukan Islam.”
Ungkapan tersebut menggambarkan paradoks yang dihadapi umat Islam saat ini. Masih banyak umat Islam yang kuat dalam menjalankan ritual keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, namun nilai-nilai keislaman belum sepenuhnya mewarnai perilaku keseharian mereka.
Khozin juga membahas hasil riset dari Prof Hussain Askari dari George Washington University, Amerika yang menemukan bahwa negara paling Islami dari segi penerapan nilai-nilai Islam adalah Selandia Baru, negara dengan angka kriminalitas dan korupsi yang sangat rendah.
Sebaliknya, negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, justru memiliki skor indeks keislaman yang rendah karena masyarakatnya masih terjebak dalam perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti korupsi dan ketidakadilan.
Hal itu menunjukkan bahwa iman umat Islam sering kali hanya tercermin dalam ibadah ritual saja dan belum menyentuh perilaku sosial serta keseharian mereka di tengah masyarakat.
“Iman baru kuat di ibadah khasnya, tapi belum mewujud dalam tindakan sehari-hari. Ini perlu perhatian serius,” tambahnya.
Selain itu, lanjut Khozin, hasil survei dari Dewan Masjid Indonesia yang menunjukkan bahwa 65 persen dari 245 juta Muslim di Indonesia masih buta huruf al-Quran. Dalam hal ibadah, yang semakin membuat miris yaitu hanya 2 persen yang selalu shalat lima waktu berjamaah. Sementara 26,2 persen di antaranya kadang-kadang shalat dan 0,4 persennya bahkan tidak pernah shalat.
Melihat kenyataan tersebut, pada akhir ceramahnya, Khozin mengajak seluruh hadirin untuk ikut serta dalam upaya memperbaiki kualitas umat Islam, terutama melalui pendidikan.
“Kita harus aktif mengajak yang kurang (ibadah dan sosialnya) dan menguatkan yang sudah. Pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan kualitas sosial dan spiritual umat Islam,” ajaknya.
Ia berharap dengan pendidikan yang baik, umat Islam dapat lebih kritis, peduli, dan mampu menjalankan ajaran Islam di segala aspek kehidupan. (*)
Penulis Abizar Purnama Editor Ni’matul Faizah