Karamah dalam Tasawuf Muhammadiyah
Bagaimana Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah dan tajdid (pembaharuan) yang dipahami sebagai gerakan yang mengedepankan aspek rasionalitas dalam bermasyarakat dihadapkan pada realitas karamah?
Dalam aturan tasawuf Muhammadiyah, khususnya yang tercantum dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dan keputusan-keputusan Majelis Tarjih, tidak ada pembahasan khusus dan mendetail mengenai karamah.
Pendekatan tasawuf Muhammadiyah cenderung fokus pada prinsip-prinsip dasar Islam seperti tauhid, ibadah, amal saleh, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya pemurnian akidah dari berbagai bentuk tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBK).
Dalam konteks ini, pembahasan akan dihadapkan dengan pendekatan yang lebih rasional dan berbasis pada prinsip-prinsip dasar Islam, seperti tauhid (keesaan Allah) dan pemurnian aqidah dari berbagai unsur yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam tasawuf Muhammadiyah menghindari pengkultusan individu, termasuk terhadap para wali atau tokoh agama yang dianggap memiliki karamah.
PWHIWM menekankan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh, dan manusia, betapa pun salehnya, tetaplah makhluk yang tidak luput dari kekurangan.
Oleh karena itu, di dalam tasawuf Muhammadiyah, tidak mendorong pemuliaan individu tertentu karena klaim karamah, melainkan mendorong penghormatan berdasarkan akhlak, ilmu, dan kontribusi sosial.
Tasawuf Muhammadiyah lebih menekankan pada pentingnya ibadah yang benar dan amal saleh yang nyata daripada mengejar fenomena supranatural seperti karamah.
Ilmu tasawuf Muhammadiyah mengajarkan bahwa kebesaran seorang Muslim terletak pada ketaatan kepada Allah, kontribusi kepada masyarakat, dan peran aktif dalam menegakkan keadilan sosial, bukan pada kemampuan melakukan hal-hal yang supranatural yang luar biasa. Di pendekatan tasawuf Muhammadiyah mengakui karamah sebagai bagian dari sejarah Islam, tetapi tidak dijadikan fokus utama.
Karamah tidak dianggap sebagai tujuan atau indikator utama keimanan dan keislaman seseorang dalam tasawuf Muhammadiyah. Melainkan bagaimana seorang Muslim menjalankan ajaran Islam dengan benar, beramal saleh, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Meskipun karamah diakui, penting untuk diingat bahwa dalam Islam, hal yang paling utama adalah ketakwaan dan keimanan seseorang, bukan pada tanda-tanda atau peristiwa luar biasa yang mungkin dialami.
Sehingga, dalam hal ini, karamah yang kemudian diharapkan oleh tasawuf Muhammadiyah bukanlah peristiwa luar biasa yang bersifat fisik atau material, melainkan adalah kedekatan dan keintiman yang luar biasa dengan Allah, yang dikenal sebagai “ma’rifah” (mengenal Allah secara mendalam) dan “ridha Allah” (keridhaan Allah).
Ma’rifah adalah pengenalan mendalam dan hakiki kepada Allah. Seorang hamba yang mencapai tingkat ma’rifah ini memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang sifat-sifat Allah, dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupannya.
Mereka bukan hanya mengenal Allah secara teori, tetapi mengalami kehadiran-Nya secara nyata dalam hati dan kehidupan sehari-hari. Karena itu kemudian Ridha Allah adalah puncak dari semua amal dan ibadah seorang hamba.
Ketika Allah ridha kepada seorang hamba, maka hamba tersebut mendapatkan ketenangan batin, kepuasan jiwa, dan ketentraman hati. Ini adalah karamah tertinggi karena ridha Allah adalah tujuan akhir dari segala usaha dan perjuangan seorang hamba di dunia.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah memahami bahwa karamah tertinggi tercermin dalam kemampuan seorang hamba untuk tetap istiqamah (konsisten) dalam iman dan amal saleh, meskipun dihadapkan pada berbagai ujian dan godaan dunia.
Orang yang istiqamah dalam kebaikan mendapatkan perlindungan dan bimbingan langsung dari Allah, yang merupakan bentuk karamah yang sangat tinggi. Kemudian mendapatkan husnul khatimah, yaitu meninggal dunia dalam keadaan beriman dan dalam kebaikan, adalah salah satu karamah tertinggi.
Seorang hamba yang meninggal dunia dengan membawa iman yang kuat dan amal yang saleh, serta dalam keadaan mendapat ridha Allah dan ia ridha kepada-Nya, telah mencapai puncak karamah dalam kehidupannya.
Karamah tertinggi juga bisa dilihat dari kemampuan seorang hamba untuk menjadi teladan dan membimbing orang lain menuju jalan Allah. Mereka yang diberi karamah ini dapat mempengaruhi hati dan pikiran orang lain, mengajak mereka ke arah kebaikan, dan membawa mereka lebih dekat kepada Allah.
Muhammadiyah memandang bahwa karamah, dalam bentuk apapun, harus selalu dipandang sebagai anugerah dari Allah dan bukan tujuan utama dalam hidup. Tujuan tertinggi dari seorang hamba adalah mencapai ridha Allah dan mengenal-Nya dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, karamah tertinggi dalam tasawuf Muhammadiyah adalah ketika seorang hamba mencapai puncak kedekatan dengan Allah dan menjalani kehidupan yang penuh dengan ketakwaan, kesabaran, dan keikhlasan.
Ia senantiasa istiqamah dalam beribadah sehingga ia mendapatkan ridha-Nya dalam menjalankan kehidupan duniawi secara bersahaja dalam rutinitas hidup sehari-hari, dalam amal usaha pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan dan amal usaha penuh berkah lainnya. Inilah karamah dalam tasawuf Muhammadiyah. (*)
Penulis Kumara Adji Kusuma Editor Wildan Nanda Rahmatullah