Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo
PWMU.CO – Di tengah maraknya muncul ideologi dan pemahaman keagamaan baru yang tidak terafiliasi dengan organisasi masyarakat (ormas) dan menawarkan klaim kebenaran mutlak, pertanyaan muncul: apakah Majelis Tarjih Muhammadiyah masih memiliki pengaruh yang kuat?
Pertanyaan ini tidak hanya diajukan oleh kelompok yang sangat berambisi masuk surga, tetapi juga oleh anggota Muhammadiyah sendiri. Mereka sering kali lebih tertarik pada manhaj yang tegas dan lugas dalam menjawab pertanyaan, meski jawabannya mungkin tidak menyentuh permasalahan umat secara mendalam.
Majelis Tarjih Muhammadiyah, yang tidak hanya berfungsi sebagai lembaga fatwa tetapi juga sebagai pengembang pemikiran keagamaan, seharusnya menjadi rujukan di tengah kompleksitas masyarakat kontemporer, terutama bagi warga Muhammadiyah.
Namun, mengapa fatwa-fatwa Majelis Tarjih kurang populer dibandingkan dengan manhaj lain, meskipun Majelis Tarjih memiliki banyak keunggulan yang jarang dimiliki oleh manhaj lain?
Keunggulan Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Ada beberapa keunggulan dari Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang penting untuk diketahui. Pertama, Majelis Tarjih dikenal progresif dalam merespons perkembangan zaman. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan ijtihad, memungkinkan pengambilan keputusan berdasarkan analisis rasional dan kontekstual, bukan sekadar mengikuti tradisi lama.
Kedua, Majelis Tarjih telah merespons berbagai isu modern seperti teknologi, kesehatan (misalnya, fatwa tentang vaksinasi), ekonomi syariah, dan isu lingkungan. Pendekatan adaptif ini memungkinkan Muhammadiyah menawarkan pandangan keislaman yang relevan di era globalisasi, perubahan sosial, dan kemajuan teknologi. Buku tanya jawab tarjih yang mencapai sembilan jilid membahas berbagai tema kontemporer.
Ketiga, Majelis Tarjih memiliki pendekatan moderat (wasathiyah) dalam mengeluarkan fatwa. Di tengah masyarakat yang semakin kompleks, baik dari sisi sosial, budaya, maupun politik, pendekatan moderat ini memberikan pandangan yang seimbang, rasional, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keagamaan. Dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam hukum fiqih, misalnya, Majelis Tarjih sering kali membuka ruang dialog tanpa sikap kaku.