Adnan Prayuwono – Alumnus Magister Kajian Sastra dan Budaya UNAIR
PWMU.CO – Ketika membuka lemari, kira-kira ada berapa banyak jumlah pakaian yang kita miliki? ada berapa banyak pakaian yang sebenarnya jarang kita pakai? atau barangkali hanya sempat dipakai satu kali saja dan pada akhirnya hanya berakhir menjadi tumpukan kain di dalam sana. Ada pakaian dari pemberian seseorang, ada pakaian seragam dari sebuah acara, ada pakaian yang mungkin pada saat kita beli hanya untuk memenuhi hasrat kepuasan fashion sesaat yang begitu cepat berlalu. Pakaian (sandang) merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang harus dicukupi, tapi sebenarnya seberapa banyak pakaian yang dibutuhkan manusia untuk mengarungi kehidupan ini? Lantas, bagaimana jika ternyata pakaian yang kita pakai ini turut berkontribusi memperparah krisis iklim yang melanda dunia saat ini?
Jangan lupa kita seringkali mengeluh ketika sedang di luar rumah atau di jalanan saat cuaca sedang panas-panasnya di siang hari. Panas yang begitu menyengat kulit dan membuat badan menjadi gerah. Mustahil jika mengatakan bahwa kondisi lingkungan kita masih sama dengan kondisi terdahulu. Musim hujan dan kemarau menjadi sulit diprediksi, bahkan kadang salah satu musim berlangsung lebih lama atau terkadang malah lebih singkat. Banyak petani gagal panen, harga kebutuhan pokok juga ikut melambung.
Kembali ke pakaian, mengapa seseorang mengkonsumsi suatu barang? Storey (1996) dengan perspektif Lacanian melihat konsumerisme sebagai suatu strategi pengalihan; sebuah contoh mengenai pencarian tiada akhir, sebuah pergerakan hasrat metominik yang tak ada habisnya. Seolah janji yang dibuatnya adalah bahwa (seperti ‘cinta’) KONSUMSI adalah jawaban bagi semua problem kita; yang membuat kita menjadi utuh dan penuh kembali; mengembalikan pada suatu kondisi imajiner yang diliputi kebahagiaan. Alhasil, manusia dipaksa mencari identitas di dalam konsumsi. Sehingga seolah makna kehidupan manusia hanya ditemukan pada apa yang dikonsumsi, bukan apa yang dihasilkan.
Hal ini yang kemudian dilegitimasi oleh dunia industri untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut Marcuse (1968), pengiklan mendorong kebutuhan palsu, semisal mendorong keinginan untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, menggunakan barang tertentu dsb. Alhasil, manusia seolah menemukan jiwa mereka dalam konsumsi tersebut terhadap barang-barang yang dikenakan.
Sedangkan bagi Bourdieu dalam tulisannya Distinction (1984), konsumsi dianggap cenderung sadar, dan disadari atau tidak, konsumsi mengisi suatu fungsi sosial berupa melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Artinya konsumsi digunakan untuk tujuan sebagai pembedaan sosial, sehingga keseharian (gaya hidup) menjadi suatu arena penting bagi pertarungan antara pelbagi kelompok dan kelas sosial.
Maka, tujuan seseorang membeli dan memakai pakaian bukan lagi semata demi mencukupi kebutuhan hidup –dalam hal ini melindungi tubuh dari kondisi cuaca sekitar— melainkan bisa jadi hanya untuk sekedar memenuhi hasrat atas suatu iklan tertentu atau sekedar untuk pengakuan atas identitas status sosial tertentu yang juga sekaligus membedakan dirinya dengan status sosial lainnya (alias gaya-gayaan semata).
Melalui kondisi inilah, dengan dalih pertumbuhan ekonomi (alias cuan, cuan dan cuan) maka Industri tekstil memanfaatkan celah tersebut. Masyarakat dibombardir melalui berbagai iklan-iklan dan budaya pop, sementara jumlah produksi barang terus ditingkatkan tiada batas demi akumulasi kapital tak berujung. Sayangnya, aktifitas ekonomi itu tidak terbatas sedangkan alam ini terbatas –bumi ini punya batasan. Segala aktifitas terkait ekonomi pasti memiliki dampak terhadap lingkungan. Sebagaimana dalil Georgescu (1971) yang saya kutip di buku Lorenzo Fioramonti (2013), “bahwa proses-proses ekonomi mengikuti hukum entropi yang sama seperti fisika, dan dengan menerapkan hukum termodinamika kedua pada ilmu ekonomi, ia simpulkan bahwa aktifitas ekonomi manusia berkembang dengan mengorbankan ekosistem melalui konsumsi energi secara cuma-cuma dalam transformasi dan pertukaran sumber daya, barang dan jasa”. Darisinilah didapati kemustahilan pertumbuhan ekonomi secara tak terhingga sebab ekonomi mau tak mau terkait dengan batas-batas biosfer.
Industri Tekstil faktanya memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan tentu saja juga berdampak pada Krisis Iklim. Pertama, menurut ClimateSeed Industri tekstil menyumbang total 10% dari emisi gas rumah kaca global, atau sekitar 4 miliar ton CO2 per tahun. Di Eropa permintaan pakaian meningkat dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari 62 juta ton pada tahun 2015 menjadi 102 juta ton pada tahun 2030. Kedua, menurut M. Pavan, Alka Goel & Manpreet Kaur (2024), Industri tekstil menghasilkan polutan udara berbahaya seperti partikel tersuspensi (TSP/SPM), Volatile Organic Compounds (VOCs), CO2, Uap Anilin, Gas Sulfur Dioksida (SO2), dan Gas Nitrogen Oksida (NO). Ketiga, menurut Europarl, Industri tekstil bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih global dan membahayakan biota air. Selain itu, pencucian bahan sintetisnya dapat melepaskan serat mikro dan mikroplastik ke lingkungan, setiap satu cucian pakaian poliester dapat melepaskan 700.000 serat mikroplastik yang dapat berakhir di rantai makanan. Belum lagi dibutuhkan banyak air untuk memproduksi tekstil, ditambah lahan untuk menanam kapas dan serat lainnya. Untuk membuat satu kaos katun, dibutuhkan 2.700 liter air tawar yang menurut perkiraan seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan minum satu orang selama 2,5 tahun. Keempat, menurut Chioma dalam Faircado, limbah tekstil yang terurai di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) melepaskan metana, yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Efek ini dapat menjadi sangat signifikan mengingat besarnya jumlah limbah tekstil yang dihasilkan secara global.
Dari hal tersebut, sebenarnya pilihan kita dalam mengkonsumsi adalah sesuatu yang sangat politis. Keputusan kita untuk membeli atau mengkonsumsi sesuatu (pakaian) ternyata juga berdampak pada lingkungan hidup. Sedangkan lingkungan hidup sudah pasti jelas berpengaruh pada kelangsungan hidup manusia. Maka, manusia sudah selayaknya untuk bijak dalam mengkonsumsi sesuatu. Menghindari kehidupan yang berlebih-lebihan serta memikir ulang perihal kata ‘CUKUP’ –sebuah kata yang sering tenggelam begitu saja dilahap sifat tamak dan serakah manusia.
Industri tekstil hanya salah satu dari sekian banyak contoh industri yang sedikit banyak ikut berkontribusi memperparah krisis iklim. Aktifitas ekonomi, seringkali abai dengan hal-hal berkelanjutan termasuk lingkungan. Hal yang terkesan remeh-temeh, namun punya dampak besar bagi kelangsungan hidup manusia. Jangan lupa bahwa aktifitas ekonomi itu tidak terbatas sedangkan alam ini terbatas.
Sebagai penutup, saya mengutip sebuah pertanyaan dari Afutami dalam bukunya Menjadi (2022): “ketika pertumbuhan ekonomi yang selama ini dikejar tidak memberikan kesejahteraan dengan merata, dan justru menyebabkan katastrofe bagi kelompok paling miskin dan rentan, kita harus mempertanyakan kembali, Apa yang salah dengan paradigma kita selama ini?”
Editor Teguh Imami