Penulis Muhammad Rusydan Mirwan Hadid
PWMU.CO – Gema bahaya perubahan iklim belum sepenuhnya merata di benak kepala masyarakat Indonesia. Para nelayan beserta keluarga di pesisir Kota Surabaya misalnya, meski setiap tahun sudut halaman rumah mereka terendam oleh banjir rob setinggi lutut orang dewasa. Banyak diantara mereka memilih untuk menutup mata ditengah-tengah kenaikan air laut tahunan sebesar 4.8 mm.
Respon tersebut mengindikasikan bahwa isu ini masih terpenjara dalam menara gading yang belum mampu dijangkau secara meluas. Sebagaimana riset pada tahun 2021 menyebutkan bahwa separuh dari masyarakat Indonesia yang mengetahui istilah perubahan iklim tidak memahami arti sesungguhnya. Ketimpangan ini membuat sulitnya gerak sinergis antara idealisme pembuat kebijakan dengan realitas masyarakat akar rumput yang aspirasinya patut untuk selalu dilibatkan.
Beberapa persoalan menjadi sorotan terhadap persoalan eksklusifitas isu perubahan iklim. Pertama, rendahnya kualitas pendidikan masih menjadi alasan yang mendasari terpisahnya masyarakat terhadap isu perubahan iklim. Minimnya skor PISA berkelindan dengan jumlah lulusan sarjana yang masih sangat kecil, sehingga kian memperlebar dan memperdalam jurang pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Kedua, persoalan kemiskinan masih menjadi dinding yang membatasi mereka untuk merefleksikan hal-hal yang tidak tersaji diatas meja makan mereka. Dalam hal ini, persoalan finansial masyarakat membuat mereka belum mampu menerawang jutaan karbon emisi yang berpotensi merenggut kehidupan mereka dalam sekejap.
Berkaca dari dua persoalan tersebut, dibutuhkan strategi berbasis kesadaran kebudayaan yang bersifat organik sehingga dapat mengjangkau serta mengorkestrasi gerak masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim secara kolektif.