Ketujuh, Muhammadiyah Terlalu Formal dalam Ibadah.
Muhammadiyah dianggap terlalu formal dalam beribadah, tidak menunjukkan banyak ekspresi emosi atau spiritualitas yang mendalam.
Muhammadiyah juga tidak memiliki majelis-majelis spiritual seperti majelis shalawat, majelis dzikir, atau ritual lainnya.
Faktanya, Muhammadiyah menekankan pada pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan tuntunan al-Quran dan sunnah, dan mungkin terlihat lebih sederhana atau formal dibandingkan dengan praktik-praktik ibadah yang lebih menonjolkan sisi emosional atau ritual tambahan.
Namun, hal ini lebih terkait dengan penekanan pada kesederhanaan dan ketepatan dalam beribadah, bukan kurangnya spiritualitas.
Bagi Muhammadiyah ritual yang diajarkan Rasulullah Saw memang sederhana. Penghayatan dan khusyu bersifat personal. Dzikir bersama meskipun ada dalilnya tidak harus secara demonstrative membuat majelis tersendiri.
Show of dzikir bisa menimbulkan banyak kepentingan, bisa politik, popularitas, bahkan pada derajat tertentu masuk dalam takabur dan riya.
Yang tidak hadir di majelis sholawat dianggap anti sholawat, yang tidak pernah hadir pada majelis dzikir dianggap tidak pernah berdzikir. Ini fonis yang cukup menyesatkan.
Majelis dzikir dan shalawat warga Muhammadiyah adalah shalat berjamaah. Tidak perlu biaya, tidak ada panggung, sound sistem, konsumsi, undangan dan lain lain.
Bukankah al-Quran memerintahkan untuk berdzikir dan berdoa dengan khusyu dunal jahri minal qawli (dengan suara pelan) bukan dengan sound horek ala karnafal.
Allah memerintahkan aqimu as sholah li dzikri (dirikan sholat untuk berdzikir). Dalam sholat ada shalawat lengkap, semakin banyak sholat semakin banyak shalawat.
Begitu pula belajar hadits, selalu kita ucapkan shalawat kepada Rasulullah Saw, semakin banyak membaca hadits semakin banyak bershalawat.
Semakin sering membaca al-Quran semakin banyak berdzikir. Yang tidak kalah pentingnya adalah dzikir bil fi’li berdzikir dengan amal sholeh.
Kedelapan, Muhammadiyah Dianggap Elitis.
Muhammadiyah sering dianggap sebagai organisasi yang lebih cocok untuk kalangan kelas menengah ke atas atau mereka yang berpendidikan tinggi, dan kurang dekat dengan masyarakat bawah.
Faktanya, Muhammadiyah memang banyak bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, yang menarik banyak kalangan terdidik.
Namun, Muhammadiyah juga memiliki banyak program sosial untuk membantu masyarakat kurang mampu, termasuk layanan kesehatan murah dan pendidikan gratis.
Kesannya yang lebih intelektual mungkin membuatnya tampak lebih elitis, tetapi Muhammadiyah berupaya mencakup semua lapisan masyarakat.
Lazismu sangat merakyat dan menjangkau semua kalangan baik warga maupun bukan. Bahkan juga memiliki lembaga program khusus untuk membantu para pedagang kecil yang terjerat rentenir dengan mendirikan bankziska.
Kesembilan, Muhammadiyah Tidak Terlibat Politik.
Muhammadiyah dianggap apatis terhadap politik dan kurang berperan aktif dalam perubahan sosial-politik di Indonesia. Tidak tegas menndeklarasikan dukungan kepada calon presiden, legislatif maupun kepala daerah.
Faktanya, Muhammadiyah memilih untuk tidak terlibat langsung dalam politik praktis sebagai organisasi, tetapi banyak kader Muhammadiyah yang aktif di berbagai partai politik dan posisi pemerintahan.
Muhammadiyah lebih memilih untuk fokus pada dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial sebagai bentuk kontribusi politiknya, tanpa terlibat dalam politik partisan.
Kesepuluh, Muhammadiyah Kurang Ramah terhadap Seni dan Budaya.
Muhammadiyah dianggap kurang terbuka terhadap seni dan budaya, terutama yang terkait dengan unsur tradisional atau lokal.
Faktanya, Muhammadiyah tidak menolak seni dan budaya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, mereka cenderung menolak unsur-unsur seni atau budaya yang mengandung mistisisme, syirik, atau yang dianggap berlebihan dalam tradisi keagamaan.
Stereotip-stereotip tersebut sering kali muncul bukan dari perbedaan cara pandang terhadap agama dan praktik ibadah.
Karena khilafiyah sudah ada sejak ulama mahdzab dan terbukukan dengan baik pada kitab-kitab para ulama yang otoritatif dalam bidangnya. Kita sebagai generasi belakangan tinggal mempelajari dan mengamalkannya.
Justru stereotip-stereotip tersebut muncul karena politik, fanatisme, kedunguan berfikir, tidak mau belajar lebih luas. Ada juga yang merawat perbedaan tersebut untuk menegaskan eksistensi kelompok dan menegasikan kelompok lain.
Membangun komitmen (fanatisme) anggota dengan selalu menyalahkan kelompok lain. Konsep taaruf meniscayakan untuk saling memahami, saling mengerti, saling belajar sehingga menjadi umat yang berkemajuan.
Namun, Muhammadiyah sendiri telah berkontribusi besar dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial di Indonesia, serta berusaha memadukan ajaran Islam dengan modernitas, yang terkadang menjadi titik perdebatan di kalangan masyarakat.
Stereotip-stereotip terhadap Muhammadiyah tidak perlu direaksi secara berlebihan apalagi emosional, namun ditunjukkan dengan amal nyata dan interaksi akademis yang elegan. (*)
Editor Syahroni Nur Wachid