PWMU.CO – Pada Jumat (18/10/2024), Prof Dr Zuly Qodir SAg MAg, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menjadi narasumber dalam kajian umum yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Acara tersebut disiarkan secara langsung melalui YouTube TVMU Channel, dan membahas tema “Kedaulatan Budaya: Refleksi Sumpah Pemuda untuk Indonesia Raya.”
Dalam pemaparannya, Prof Zuly Qodir menekankan pentingnya bahasa dan budaya sebagai identitas bangsa Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa kaum muda harus memiliki identitas budaya yang kuat untuk memperkuat keindonesiaan. “Budaya adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Ini mencakup segala aspek, mulai dari berpakaian hingga bahasa yang kita gunakan sehari-hari,” ujar Zuly.
Bahasa sebagai Identitas Budaya
Salah satu poin penting yang disampaikan Prof Zuly adalah penggunaan bahasa sebagai cerminan identitas budaya. Ia mengamati bahwa di kalangan mahasiswa, baik di jenjang S1 maupun S3, sering kali seminar atau tulisan ilmiah menggunakan bahasa asing.
“Penggunaan bahasa Indonesia seolah dianggap kurang berprestise, padahal bahasa Indonesia adalah identitas budaya kita,” tuturnya. Ia berharap, mahasiswa lebih menghargai bahasa Indonesia dalam karya ilmiah, agar bisa tetap mempertahankan identitas kebudayaan.
Lebih lanjut, Prof Zuly mengingatkan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki bahasa dan pakaian tradisional yang kaya. “Seperti pakaian Jawa, Sunda, dan Bugis, semuanya menjadi simbol identitas yang patut kita banggakan,” ujarnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk lebih memahami dan menghargai makna di balik setiap simbol budaya yang ada.
Makna Budaya dalam Kehidupan Sehari-hari
Prof Zuly menggambarkan budaya sebagai sesuatu yang sarat makna. Dalam konteks makanan, misalnya, Yogyakarta dikenal sebagai kota kuliner yang beragam.
“Makanan bukan sekadar untuk dinikmati, tetapi juga merupakan ekspresi budaya yang mengandung makna dan simbol. Setiap hidangan memiliki cerita di baliknya,” ungkapnya.
Kedalaman makna dalam budaya, menurutnya, sangat penting untuk disampaikan kepada generasi muda. Ia menyoroti bagaimana banyak tradisi dan simbol budaya yang tidak lagi dipahami oleh masyarakat, sehingga kehilangan esensinya.
“Sebagai contoh, saat perayaan tertentu, ada simbol yang mungkin terlihat biasa, namun memiliki makna yang mendalam bagi kita sebagai masyarakat,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Prof Zuly juga menyentuh tentang hubungan antara agama dan budaya. Ia menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
“Beragama seharusnya membuat kita hidup dengan lebih bahagia. Jika tidak, mungkin kita belum sepenuhnya memahami dan menghayati nilai-nilai budaya yang terkandung dalam agama kita,” katanya.
Zuly menekankan bahwa seharusnya orang beragama merasakan kedamaian dan kebahagiaan, meskipun dalam situasi sulit sekalipun. “Menangis adalah ekspresi yang manusiawi, tetapi jangan sampai kita kehilangan semangat dan kebahagiaan sebagai bagian dari kehidupan beragama,” imbuhnya.
Kebudayaan sebagai Identitas Kolektif
Menariknya, dalam refleksi tentang kedaulatan budaya, Zuly Qodir juga menggarisbawahi perlunya kebudayaan yang bersifat kolektif.
Ia menegaskan bahwa kedaulatan budaya tidak hanya milik individu, tetapi juga harus menjadi milik bersama. “Kita perlu menjaga bahasa dan budaya kita secara kolektif. Jika hanya dilakukan secara individu, bisa jadi identitas kita akan hilang,” tuturnya.
Ia mengajak semua lapisan masyarakat, terutama kaum muda, untuk bersama-sama melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia.
“Sebagai generasi penerus, kita harus berperan aktif dalam melestarikan dan mengembangkan budaya kita. Ini bukan hanya tugas satu individu, tetapi tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.
Melalui kajian umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Zuly Qodir, masyarakat diingatkan akan pentingnya kedaulatan budaya dan identitas keindonesiaan, terutama bagi kaum muda.
Bahasa, pakaian, makanan, dan agama merupakan elemen-elemen penting dalam membentuk identitas budaya. Dalam konteks ini, Sumpah Pemuda menjadi pijakan untuk memperkuat rasa cinta terhadap budaya dan tanah air.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Azrohal Hasan