PWMU.CO – Ketua Umum Partai Golkar dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) dalam waktu yang terbilang singkat, yaitu 1 tahun dan 8 bulan.
Keberhasilan Bahlil menyelesaikan program doktoralnya menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan publik, khususnya terkait dengan konten disertasinya dan proses akademis yang dilalui.
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id kasus yang ramai dibicarakan ini mendapat tanggapan dari Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari UM Surabaya. Ia berpendapat bahwa polemik mengenai gelar doktor Bahlil mencerminkan adanya masalah serius terkait konflik kepentingan di dunia perguruan tinggi.
“Dengan posisi Bahlil sebagai menteri, kata Satria, akan rawan terjadi gesekan relasi antara kekuasaan dengan pihak kampus,” ucap Satria Senin (21/10/2024).
Satria berpendapat bahwa, secara ideal, sulit untuk percaya bahwa Bahlil dapat menyelesaikan studi doktoralnya dalam waktu kurang dari dua tahun mengingat kesibukannya yang padat. Ia menilai bahwa polemik ini akan menjadi perhatian penting terkait dengan kepatutan dan legitimasi akademik institusi pendidikan.
“Seminimal-minimalnya 2,5 tahun dan ini pun sudah sangat outstanding study luar biasa. Apalagi di salah satu kampus terbaik di Indonesia,” tambah Satria lagi.
Satria mengkhawatirkan bahwa jika konflik kepentingan terus dibiarkan berkembang di lingkungan kampus, perguruan tinggi tidak akan menghasilkan intelektual dan ilmu pengetahuan, melainkan hanya gelar semata. Dalam skenario terburuk, institusi pendidikan akan kehilangan legitimasi intelektual di mata publik, yang akan membawa Indonesia pada periode hilangnya kepakaran.
“Upaya-upaya penundukan kampus melalui penguasaan uang dan modal mendelegitimasi upaya (produksi) ilmu pengetahuan yang kampus lakukan,” tambahnya lagi.
Oleh karena itu, Bahlil Lahadalia bisa jadi adalah salah satu menteri yang cerdas di Indonesia. Namun, jika ia tidak mencuri perhatian dengan cara yang mengabaikan etika dan kehormatan akademik. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Wildan Nanda Rahmatullah