Buku Filsafat Kebahagiaan, Bab. Ki Ageng Suryomentaram, oleh Fahrudin Faiz. (Alvin Qodri Lazuardy/PWMU.CO).
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy MPd/ Mudir Pesantren At-Tin UMP
PWMU.CO – Dalam hidup, kita sering merasa bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang rumit atau jauh dari jangkauan. Padahal, mungkin kebahagiaan tidak terletak pada hal-hal yang besar atau pencapaian yang muluk-muluk, melainkan pada kesederhanaan dan kejujuran dalam menjalani hidup.
Salah satu panduan sederhana yang bisa kita terapkan untuk meraih kebahagiaan adalah konsep 6S: sakbutuhe, sakperlune, sakcukupe, sakbenere, sakmesthine, dan sakpenake. Melalui enam prinsip atau rumus kebahagiaan ini, kita dapat menemukan cara hidup yang lebih damai, terarah, dan tentunya, lebih bahagia.
Konsep pertama, sakbutuhe, mengajak kita untuk hidup sesuai kebutuhan. Sering kali kita terjebak dalam siklus keinginan yang tiada habisnya—selalu merasa harus memiliki lebih banyak, mencapai lebih tinggi, atau memenuhi ekspektasi eksternal.
Padahal, banyak dari yang kita inginkan sebenarnya tidak kita butuhkan. Dengan hanya mengambil apa yang kita butuhkan, hidup kita menjadi lebih sederhana, tidak dibebani oleh hal-hal yang sebenarnya tidak penting.
Saat kita mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan, kita tidak lagi merasa terbebani oleh harapan yang berlebihan, sehingga kebahagiaan pun menjadi lebih mudah diraih.
Lalu yang kedua adalah sakperlune, yang berarti hidup sesuai dengan keperluan. Setiap tindakan atau keputusan yang kita ambil sebaiknya relevan dengan apa yang benar-benar penting dalam hidup kita.
Sering kali, kita terjebak melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mendukung tujuan utama kita, hanya karena dorongan eksternal atau tekanan sosial.
Konsep sakperlune mengajarkan kita untuk fokus pada apa yang benar-benar perlu dilakukan, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan begitu, hidup kita menjadi lebih efisien dan terfokus, sehingga kita bisa lebih mudah menemukan kepuasan dan ketenangan.
Berikutnya yang ketiga adalah sakcukupe, yang mengajarkan kita untuk mengambil secukupnya saja. Manusia sering kali terjebak dalam keinginan untuk selalu lebih—lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak pengakuan. Namun, dalam kebahagiaan yang sejati, rasa cukup adalah kunci penting.
Ketika kita bisa merasa cukup dengan apa yang kita miliki, hidup menjadi lebih damai. Tidak perlu terus membandingkan diri dengan orang lain atau mengejar hal-hal yang tak berujung.
Rasa cukup ini, atau qanaah dalam istilah agama, membawa kita pada kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
Yang keempat adalah Sakbenere, berarti hidup sesuai dengan kebenaran yang kita yakini. Kebahagiaan yang sejati hanya bisa ditemukan ketika kita hidup dengan jujur, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Hidup dalam kepura-puraan atau kebohongan hanya akan membuat kita lelah dan cemas. Sebaliknya, dengan menjalani hidup yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai kebenaran yang kita yakini, kita akan merasa lebih tenang dan bebas dari tekanan sosial yang sering kali memaksa kita untuk menjadi orang lain. Kebenaran membawa kebebasan, dan dari kebebasan itulah kebahagiaan muncul.
Selanjutnya yang kelima adalah Sakmesthine, mengingatkan kita untuk menjalani apa yang pasti atau yang sudah menjadi kewajiban kita. Sering kali, kita terjebak dalam keraguan atau kebimbangan, menunda-nunda tindakan yang sebenarnya sudah jelas harus dilakukan. Dengan konsep ini, kita diajak untuk tidak membuang-buang waktu pada hal-hal yang meragukan atau tidak pasti.
Lakukan yang mesti dilakukan, fokus pada hal-hal yang memang sudah jelas jalannya. Dengan begitu, hidup kita akan lebih terarah dan jauh dari penyesalan. Tindakan yang pasti dan terencana selalu membawa kepuasan tersendiri, yang pada akhirnya berujung pada kebahagiaan.
Terakhir, ada sakpenake, yaitu menjalani hidup dengan nyaman. Kenyamanan ini bukan berarti hidup tanpa tantangan atau selalu memilih jalan yang paling mudah. Sebaliknya, sakpenake lebih mengacu pada kenyamanan batin, di mana kita hidup sesuai dengan hati nurani dan merasa damai dengan pilihan-pilihan yang kita buat.
Hidup yang bahagia adalah hidup yang tidak dipenuhi oleh kecemasan atau tekanan yang berlebihan. Ketika kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri dan dengan jalan hidup yang kita pilih, maka kebahagiaan pun akan datang dengan sendirinya.
Pada akhirnya, konsep 6S ini adalah panduan sederhana namun penuh makna untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup kita. Ketika kita mampu hidup sesuai kebutuhan, keperluan, merasa cukup, mengikuti kebenaran, menjalani yang pasti, dan merasa nyaman dengan diri sendiri, maka kebahagiaan bukan lagi sesuatu yang sulit dijangkau.
Kebahagiaan hadir bukan dari luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri—dari cara kita memandang hidup, dari kesederhanaan dan kejujuran dalam setiap langkah yang kita ambil.
Sumber: Fahrudin Faiz, Filsafat Kebahagiaan, Bab. Ki Ageng Suryomentaram, hlm. 227-229
Editor Danar Trivasya Fikri