PWMU.CO – Beragam tokoh agama dan budayawan hadir dalam Sarasehan Kebangsaan yang diadakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Senin (28/10/2024) ini. Tiga tokoh di antaranya berkesempatan membagikan perspektif mereka terkait perdamaian dan upaya merawat kebhinnekaan, yakni Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Malang Raya, Pendeta David Tobing; Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Malang, Istianah; dan Dosen UMM sekaligus Duta Internasional Dialog Antar Agama, Pradana Boy.
Dalam pemaparannya, Pendeta David Tobing menyoroti pentingnya komunikasi dan dialog antar umat beragama. Menurutnya, dalam agama Kristen, perdamaian dan persatuan merupakan hal mutlak yang harus diwujudkan dalam kehidupan, seperti tertuang dalam Matius 5:9: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
“Kerukunan antar umat beragama perlu diwujudkan secara aktif melalui komunikasi yang baik. Salah satu program FKAUB, Barikan Anak Nusantara, melibatkan anak-anak dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan kepercayaan. Dengan menanamkan jiwa perdamaian dalam diri anak-anak dan masyarakat antar umat beragama, keberagaman dapat membawa pada persatuan di Nusantara,” ujarnya.
Sarasehan ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Kebangsaan yang diselenggarakan UMM setiap tahun, dimulai pada awal Oktober bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, dan melibatkan para tokoh lintas agama dari berbagai daerah.
Sementara itu, Ketua PHDI Malang, Istianah, memaparkan konsep perdamaian dan persatuan dari perspektif agama Hindu. Ia menekankan pentingnya lima keyakinan dalam agama Hindu yang disebut Panca Sradha. Istianah, yang akrab disapa Ratih, menegaskan bahwa keragaman suku, ras, agama, dan budaya bukanlah penghalang dalam mewujudkan kehidupan rukun di Nusantara.
“Segala bentuk bakti yang kita lakukan adalah wujud pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa. Kita harus menjunjung tinggi nilai moral asah, asih, asuh, sehingga tertanam dalam diri kita nilai Tat Twam Asi, yang berarti ‘aku adalah kamu dan kamu adalah aku,’” tuturnya.
Senada dengan itu, Pradana Boy menyoroti tantangan perdamaian dalam konteks dunia modern yang penuh fragmentasi. Beberapa faktor penyebabnya, menurut Pradana, adalah ekonomi global, geopolitik, perang, perubahan iklim, disrupsi, dan isu identitas. Ia menekankan pentingnya memahami sejarah Indonesia dari masa Hinduisme-Buddhisme, Kesultanan Islam, hingga masa kemerdekaan dan pembentukan bangsa sebagai upaya menjaga kebhinnekaan dan merawat harmoni.
“Perpecahan muncul karena sebagian orang kurang memahami pentingnya sejarah dalam upaya mewujudkan perdamaian. Krisis antar umat beragama yang terjadi bukan disebabkan oleh agamanya, melainkan oleh praktik-praktik orang yang menjalankan agamanya. Perdamaian tetap dapat kita raih di tengah perbedaan, karena meski agama kita berbeda, tujuan akhirnya sama, yakni kebajikan,” pungkasnya. (*)
Penulis Hassan Al Wildan Editor Wildan Nanda Rahmatullah