Oleh Muhsin MK
PWMU.CO – Setiap pergantian Presiden Republik Indonesia (RI) senantiasa ada perubahan kebijakan. Hal ini tercermin antara lain dari kementerian yang dibentuknya.
Bertambah atau berkurangnya jumlah Kementerian dalam suatu pemerintahan tidak terlepas dari kebijakan presiden yang berkuasa. Apakah karena pertimbangan kepentingan untuk mengakomodir para pendukung atau memang kebutuhan yang diperlukan dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Dalam menempatkan menteri setiap presiden biasa berusaha melibatkan dan menempatkan orang-orang yang berasal dari partai politik pengusungnya. Selain itu juga direkrut dari kalangan profesional dan organisasi masyarakat (ormas).
Dari partai dan 0rmas, orang yang dipilih tentu mereka yang memegang jabatan strategis atau termasuk pimpinan terasnya. Sebab mereka inilah yang dipandang layak dan tepat menduduki kementerian yang dipimpinnya.
Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia dalam setiap pergantian presiden tak pernah diabaikan dan selalu masuk dalam kabinet. Hanya saja kementerian yang dijabatnya biasa berkaitan dengan pendidikan, sosial dan agama, sesuai dengan aktifitas dan pengalaman persyarikatan sejak berdirinya.
Pada zaman presiden Soekarno tahun 60 an, duduk dalam kabinet antara lain H. Mulyadi Joyo Martono. Beliau menjadi Menteri Sosial RI. Ini tentu pas dengan aktifitas dan pengalamannya dalam Muhammadiyah.
Di masa presiden Soeharto yang duduk dalam kabinet dari Muhamadiyah adalah HMS Mintareja, juga sebagai Menteri Sosial. Di era presiden Prof Dr BJ Habibie yang duduk Prof Malik Fajar, sebagai Menteri Agama RI.
Lalu pada zaman presiden KH Abdurrahman Wahid, yang duduk Prof Dr Yahya Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan dan Prof Dr Bambang Sudibyo sebagai Menteri Keuangan RI. Dilanjutkan presiden Megawati, masuk Prof HM Malik Fadjar menjadi Menteri Pendidikan RI.
Pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, duduk Prof Dr Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan RI. Lalu dimasa presiden Jokowi duduk Prof. Dr. Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Menteri Koordinator Kesejahte- raan Rakyat (Menko Kesra).
Karena itu tidak mengherankan jika di zaman presiden Prabowo dari Muhamadiyah tidak diabaikannya. Ditempatkan pada posisi yang proposional dengan mendudukkan Prof Dr Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Muhammadiyah Layak Dilibatkan di Pemerintahan
Dunia pendidikan dan sosial kemanusiaan bagi Muhammadiyah bukan hal yang baru. Organisasi Islam ini telah menggarap bidang pendidikan dan aktifitas sosial kemanusiaan sudah sejak zaman penjajahan Belanda, atau sebelum kemerdekaan.
Sudah selayaknya jika Muhammadiyah selalu dilibatkan dalam pemerintahan. Apalagi pada bidang yang menjadi aktifitas dan pengalaman sejak berdirinya hingga dewasa ini.
Di Kementerian Agama Muhammadiyah juga sudah berpengalaman. Menteri Agama RI pertama adalah Prof Dr HM Rasjidi. Lalu Tengku Muhammad Hasan dan KH. Faqih Usman pemimpin persyarikatan pada era Soekarno sebagai presiden pernah menjabat Menteri Agama RI.
Demikian pula Prof Dr Mukti Ali, Munawir Sadzali MA dan Dr dr H. Tarmidzi Taher, warga Muhammadiyah yang pernah menjadi Menteri Agama RI pada era Soeharto sebagai presiden. Kemudian Prof. Malik Fadjar pernah menjadi Menteri Agama pada masa BJ. Habibi sebagai presiden.
Hanya saja karena kementrian ini seakan menjadi bagian dan bidang garapannya NU, membuat Muhammadiyah tidak ingin menguasai dan mendudukinya. Hanya pejabat di kementerian ini biasanya dimasukkan dari unsur Muhamadiyah, seperti Prof Dr Hilman Latif sebagai Dirjen Haji dan umroh.
Kabinet Merah Putih
Pada pemerintahan presiden Prabowo dalam Kabinet Merah Putih posisi Menteri dari Muhamadiyah diantaranya, pertama Prof Dr Abdul Mu’ti sebagai menteri pendidikan Dasar dan Menengah. Kedua, Dr Raja Juli Antoni, sebagai Menteri Kehutanan RI.
Tentu jumlah menteri Muhammadiyah tidak sebanding dengan menteri dari kalangan NU yang cukup banyak. Pertama Muhaimin Iskandar Menko Pemberdayaan Masyarakat. Kedua Nusron Wahid sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketiga, Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama.
Keempat, Syaifullah Yusuf sebagai Menteri Sosial.. Kelima, Abdul Kadir Karding sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Keenam, Arifah Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Namun demikian Muhammadiyah masih dapat jatah Wakil Menteri dan pejabat lembaga setingkat menteri. Seperti Fajar Rijal Ul Haq yang menjadi Wakil Menteri Pendidikan RI. Lalu Prof Dr Fauzan yang menjadi Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi RI. Zulfikar Ahmad Tawala sebagai Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Meskipun demikian bagi Muhammadiyah tidak masalah soal dapat atau tidak jabatan menteri di pemerintahan. Bagi Persyarikatan yang penting para kader dan pemimpinnya yang menjadi menteri tidak melakukan korupsi dan tetap bekerja memperjuangkan kepentingan rakyat.
Hal ini sudah terbukti sejak zaman revolusi, pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto hingga Jokowi. Tak ada satupun menteri dari Muhamadiyah yang melakukan tindak pidana korupsi.
Karena itu bagi kader Muhammadiyah yang utama saat menjadi pejabat pemerintahan termasuk mereka yang menjadi menteri dan wakilnya saat ini tetap memegang teguh Al Islam dan keMuhammadiyahan dan kepribadian Muhammadiyah. Selain itu mereka berusaha menjaga citra dan marwah persyarikatan dalam pemerintahan hingga akhir hayatnya. Wallahu ‘alam.
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan