Penulis: Silviyana Anggraeni (Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan)
PWMU.CO – Di negara timur seperti Indonesia, budaya istri sebagai orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga memang sangat kental.
Ada beberapa wilayah yang menganggap tabu ketika ada seorang suami atau laki-laki mengerjakannya. Secara umum masyarakat Indonesia beranggapan bahwa memasak, mencuci, bersih-bersih adalah kewajiban seorang istri.
Bahkan saking kentalnya budaya tersebut terbentuklah opini di masyarakat bahwa istri yang mengerjakan tugas domestik adalah istri yang baik. Sebaliknya, istri yang tidak mengerjakannya adalah istri yang tidak patuh dan durhaka.
Sampai detik ini pun perdebatan soal itu masih berlangsung. Bahkan di tengah derasnya seruan dan informasi tentang persamaan gender dari para pejuang feminisme.
Masyarakat masih berpendapat tugas domestik adalah kodrat perempuan. Dan kodrat laki-laki adalah mencari nafkah. Padahal itu adalah perspektif yang salah dan perlu di luruskan.
Jika kita lihat dari segi bahasa, kata kodrat berasal dari bahasa arab yang artinya kekuasaan dan kemampuan.
Bagaimana jika ada perempuan yang mempunyai keterbatasan atau kesulitan untuk mengerjakan tugas domestik, apakah perempuan tersebut menyalahi kodrat? Dan sebaliknya, jika laki-laki mempunyai keterbatasan dan kesulitan untuk mencari nafkah di luar rumah apakah bisa juga disebut menyalahi kodratnya sebagai laki-laki.
Kita sering salah kaprah dengan mencampur adukan antara kontruksi sosial dengan kontruksi biologis. Yang mana kontruksi sosial kita anggap sebagai kodrat.
Padahal kodrat itu soal kontruksi biologis yakni menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Dimana empat hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Jadi diluar empat hal tadi bukanlah kodrat termasuk pekerjaan domestik.
Memang saat ini kita masih terjebak pada stigma yang mendiskriminasi. Baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Perempuan yang tidak melakukan pekerjaan domestik di cap pembangkang. Laki-laki yang tidak bekerja diluar rumah di cap pemalas dan tidak bertanggung jawab.
Lebih jelasnya tugas seorang istri pernah di jelaskan oleh Ustadz Adi Hidayat dalam sebuah unggahan channel youtube. Disana UAH menjelaskan kandungan al-Quran surah An-Nisa ayat 34. Menurut UAH tugas seorang istri yang paling pokok itu ada dua.
Yang pertama adalah taat kepada Tuhannya Allah SWT dengan patuh kepada suaminya (dalam hal kebaikan). Yang kedua adalah menjaga marwah, aib, amanah dari pada suaminya. Sedangkan mengerjakan pekerjaan domestik bagi istri sifatnya mubah, bukanlah wajib.
Selain UAH yang mengatakan demikian, ulama empat mahzab terdahulu juga demikian. Melalui kitab-kitab fiqihnya dikatakan tidak ada kewajiban domestik pada diri seorang istri.
Ulama-ulama itu sepakat mengerjakan pekerjaan domestik bagi istri sifatnya sunah, yang jika di kerjakan akan menambah nilai ibadah dan pahala. Kitab-kitab itu adalah Badai Ash-Shanai dan Al-Fatawa Al-Hindiyah dari imam Hanafi.
Asy-Syarhul dari imam Maliki. Al-Muhadzdzab dan Hasyiyah Al-Bujairimi dari imam Syafi’i. Dan Al-Mughni dan Kasysyaf Al-Qinna dari imam Hambali.
Ada dua kesimpulan yang diambil dari kitab-kitab tersebut bahwa yang pertama perempuan dinikahi bukan untuk dijadikan ART (Asisten rumah tangga).
Kedua kewajiban istri sebatas pelayanan seksual. Begitulah gambaran Islam menempatkan perempuan. Saat belum menikah ayahnya yang melindunginya, setelah menikah suaminya sebagai pakaiannya, dan ketika renta anak laki-lakinya yang menjaganya.
Begitu banyak cara yang bisa dilakukan oleh suami dan istri dalam persoalan domestik. Jika kehidupan mereka mampu secara ekonomi mereka bisa mempekerjakan ART baik full time maupun part time.
Jika kehidupan mereka belum mampu secara ekonomi antara suami istri bahkan anak-anak dan semua orang yang ada di rumah tersebut bisa bekerja sama untuk mengerjakannya.
Tetapi lagi-lagi stigma diskriminasi masyarakat kita yang menganggap aneh ketika ada suami yang mengerjakan pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, setrika, bersih-bersih, mengasuh anak. Padahal itu adalah sesuatu yang wajar bahkan sebuah kewajiban dalam islam untuk memberi nafkah dalam bentuk sandang, pangan dan papan.
Dari sentimen diskriminasi itulah muncul suami-suami yang sudah merasa gengsi untuk melakukan pekerjaan domestik. Merasa sudah lelah karena telah bekerja mencari nafkah di luar.
Yang lebih penting dari pada stigma negatif dan diskriminasi itu adalah bagaimana antara suami istri mampu mengkomunikasikan. Agar suami dan istri ikhlas juga ridho dalam melakukan perannya.
Salah satu kuncinya bekerja sama. Menjalani suka dukanya bersama-sama. Istri memahami lelahnya suami bekerja, suami pun memahami kelelahan istri ketika bergelut dengan urusan domestik dan merawat anak. Belum lagi ketika istri juga bekerja maka peran ganda itulah yang harus di antisipasi agar rumah tangga tetap berjalan harmonis.
Masing-masing harus memiliki kesadaran untuk saling meringankan. Jika sudah demikian maka tidak akan ada cerita istri marah-marah karena suaminya tidak mau membantunya, suami juga tidak akan merasa berat hati untuk melakukan tugas domestik bahkan dengan senang hati.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun