PWMU.CO – Dalam upaya menciptakan pemilu yang bersih dan demokratis, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya menggelar diskusi bertajuk “Perlukah Kita Menormalisasi Politik Uang?” pada Senin (4/11/2024).
Acara yang diadakan di ruang teater Gedung D lantai 7 kampus ini mengangkat tema tentang tingkat permisivitas politik uang serta pola klientelisme yang berkembang di Jawa Timur menjelang Pilkada 2024.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, termasuk Direktur Pusad UM Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus aktivis Perludem, Titi Anggraini, Komisioner KPU Jawa Timur, Choirul Umam, serta Radius Setiyawan, Peneliti Utama Pusad UM Surabaya.
Dalam acara tersebut, mereka berbagi pandangan tentang bahaya politik uang dan dampaknya terhadap kualitas demokrasi Indonesia.
Titi Anggraini membuka pemaparannya dengan berterima kasih kepada Pusad UM Surabaya atas riset yang dianggap berkontribusi besar dalam memahami masalah politik uang.
Menurutnya, penelitian ini menjadi landasan penting bagi upaya menghadirkan pemilu yang lebih bermakna.
Ia menegaskan bahwa politik uang tak bisa ditoleransi, bahkan telah dianggap haram. “Sebagai bagian dari warga negara yang menjunjung demokrasi, kita tidak boleh menormalisasi politik uang karena praktik tersebut merusak asas pemilu yang jujur dan adil,” ujarnya.
Bu Titi juga menyampaikan data yang memperlihatkan tingginya tingkat politik uang di Asia, termasuk Indonesia.
Menurut laporan Transparency International tahun 2020, satu dari tujuh keluarga di Asia pernah ditawari uang untuk memilih kandidat tertentu, dengan Indonesia menempati posisi ketiga setelah Thailand dan Filipina.
“Jika melihat realitas Pilkada 2024, Indonesia bahkan mungkin bisa menduduki peringkat pertama dalam praktik politik uang,” tambahnya.
Ia mengaitkan fenomena ini dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, yang stagnan di angka 34 dan menempatkan negara pada peringkat 115 dunia.
Selain itu, Titi menyampaikan keprihatinannya tentang lemahnya penegakan hukum terhadap politik uang di Indonesia.
Berdasarkan data Pilkada 2020, hanya 23 kasus politik uang yang berhasil diproses secara hukum, meskipun survei menunjukkan bahwa lebih dari 30% masyarakat terpapar praktik ini.
Ia menekankan bahwa politik uang merupakan kejahatan yang merusak asas pemilu yang bebas dan adil, mengingat uang dapat membelokkan suara rakyat dan mengurangi kemurnian demokrasi.
Choirul Umam dari KPU Jatim menambahkan bahwa regulasi memang telah mengatur sanksi tegas bagi pelaku politik uang.
Dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, baik pemberi maupun penerima politik uang dapat dikenai pidana minimal tiga tahun dan denda ratusan juta rupiah.
Namun, Choirul menilai bahwa implementasi aturan ini masih lemah dan perlu diperkuat agar menimbulkan efek jera.
Satria Unggul Wicaksana, Direktur Pusad UM Surabaya, menyampaikan pentingnya melakukan pendidikan politik dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif politik uang.
Ia mengusulkan pendekatan yang lebih substantif dalam demokrasi, yaitu mengedepankan pemilu yang bersih dan berintegritas, bukan sekadar ritual lima tahunan.
“Pemilu harus menjadi wadah bagi rakyat untuk menentukan pemimpin yang benar-benar peduli dan bekerja untuk masyarakat, bukan hanya berfokus pada kemenangan politik dengan cara yang melanggar etika,” katanya.
Diskusi ini diakhiri dengan sesi tanga jawab dan rekomendasi kepada semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, maupun masyarakat, agar menghindari praktik politik uang.
Penegakan hukum yang kuat serta kesadaran masyarakat menjadi dua aspek penting dalam memberantas politik uang, terutama menjelang Pilkada 2024 yang semakin dekat.
Dengan adanya penelitian dan diskusi dari Pusad UM Surabaya, diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan komitmen bersama dalam memberantas politik uang, demi mewujudkan demokrasi yang lebih bersih dan bermartabat. (*)
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Azrohal Hasan