PWMU.CO-Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya menggelar acara bertajuk “Perlukah Kita Menormalisasi Politik Uang?” pada Senin (4/11/2024).
Acara yang berlangsung di Ruang Teater Gedung D lantai 7 Universitas Muhammadiyah Surabaya ini mengangkat topik “Survei Tingkat Permisivitas Politik Uang dan Pola Klientelisme di Jawa Timur Menjelang Pilkada 2024.”
Peneliti Utama Pusad UM Surabaya, Radius Setiyawan memaparkan hasil survei yang menyoroti peningkatan permisivitas politik uang di Jawa Timur menjelang Pilkada 2024.
Survei ini bertujuan memahami praktik patron-klien atau klientelisme yang terjadi dalam politik lokal, di mana hubungan timbal balik antara kandidat dan pemilih kian umum.
Radius mengungkapkan bahwa fenomena politik uang ini tidak hanya didorong oleh kebutuhan modal ekonomi, tetapi juga oleh kapital sosial dan simbolik yang dihasilkan oleh posisi kekuasaan.
“Ketika seseorang menjadi anggota DPR, kapital yang dimilikinya bukan hanya soal ekonomi, tapi juga modal sosial yang memberi keuntungan simbolik.”
Misalnya, saat seseorang menjadi pejabat, ia sering mendapat kemudahan dalam berbagai urusan.
“Fenomena ini kemudian meningkatkan motivasi untuk memanfaatkan politik uang dalam upaya memenangkan kursi,” ungkap Radisy.
Ia juga menyoroti peran partai politik dalam melanggengkan praktik politik uang melalui pembentukan tim sukses.
“Di Indonesia, tim sukses menjadi elemen yang kuat dalam setiap kontestasi politik. Banyak tim sukses justru mengutamakan kepentingan mereka dibandingkan agenda partai itu sendiri, sehingga terjadilah persaingan internal yang sering kali meruncing dan mengakibatkan penyebaran dana dalam jumlah besar di masyarakat,” tambahnya.
Selain itu, Radius menyoroti rendahnya suara kritis dalam masyarakat, yang menurutnya semakin memudar akibat sistem politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan publik.
“Banyak orang kini cenderung lebih memikirkan keuntungan langsung daripada berbicara tentang kebijakan. Hal ini melemahkan peran kontrol masyarakat dan membuat masyarakat permisif terhadap praktik politik uang,” jelasnya.
Menurut Radius, hasil survei menunjukkan bahwa meski ada pejabat yang ditangkap karena korupsi, persepsi masyarakat terhadap politik uang dan korupsi tetap tinggi. Bahkan, sejumlah calon kepala daerah yang pernah terlibat kasus korupsi tetap memiliki tingkat elektabilitas yang stabil.
“Fenomena ini menunjukkan adanya normalisasi politik uang di masyarakat. Banyak yang merasa bahwa politik uang bukan lagi masalah serius. Ini adalah tantangan besar bagi kita semua,” katanya.
Radius menutup pemaparannya dengan mengingatkan bahwa peningkatan praktik politik uang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Azrohal Hasan