Setelah Gerakan 30 September (G30S) atau kudeta PKI gagal, lalu partai beserta antek-anteknya berhasil dibubarkan dan Muhammadiyah kembali bergerak serta mengembangkan organisasinya kembali. Ada berbagai daerah yang berhasil mendirikan cabang ranting dan mengembangkan amal usahanya.
Sekolah Muhammadiyah, rumah sakit dan perguruan tinggi berdiri di beberapa daerah Indonesia. Apalagi di Jawa Tengah, gerakan misi dan zending Kristen cukup gencar setelah bubarnya PKI. Sebab anggota PKI menjadi objek mereka.
Melihat hal tersebut, Muhammadiyah melakukan antisipasi sekaligus konter dengan menghidupkan dakwah serta mendirikan amal usaha seperti masjid dan pendidikan. Hasilnya pun terlihat dari adanya sekolah persyarikatan yang berdiri di dekat lokasi sekolah Kristen dan Katolik, tepatnya di sepanjang jalan Purwokerto-Yogyakarta.
Pada zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, walaupun merupakan alumni sekolah Muhammadiyah, tetap saja persyarikatan menghadapi tantangan. Saat itu, menteri pendidikannya dijabat oleh Dr. Daud Yusuf yang juga pernah bersinggungan dengan Muhammadiyah.
Pada saat itu, terkait dengan libur bulan Ramadhan yaitu keputusan pemerintah tidak meliburkan sekolah-sekolah di bulan Ramadhan, sedangkan Muhammadiyah menentang hal tersebut dan meliburkan murid-muridnya di bulan Ramadhan. Dampaknya, Daud Yusuf mencabut dana subsidi sekolah-sekolah Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Selain itu, Muhammadiyah juga dihadapkan dengan masalah asas tunggal Pancasila yang harus menjadi asas ormas, selain partai. Persyarikatan pun ditekan pemerintah untuk mengganti asas Islam dalam Anggaran Dasarnya (AD). Pada saat itu, terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam antar pimpinan dan anggota Muhammadiyah sendiri. Muncul pro dan kontra tentang asas tunggal dalam tubuh persyarikatan.
Akhirnya, Muhammadiyah terpaksa menerima Pancasila menjadi asas organisasinya dalam Muktamarnya di Solo tahun 1985. Namun sebelum pasal asas Pancasila dimasukkan ke dalam AD, ditetapkan lebih dahulu pasal tentang, “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar, yang berakidah Islam”.
Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap bergerak. Cabang dan Rantingnya terus tumbuh dan berkembang, termasuk amal usahanya yang semakin bertambah jumlahnya di seluruh Indonesia.
Pada masa kepemimpinan presiden BJ. Habibi tahun 1998-1999, Muhammadiyah tidak menghadapi tantangan berat. Pada masa transisi ini pimpinan persyarikatan, Prof Malik Fadjar diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.
Memasuki era reformasi, saat Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi sebagai presiden, Muhammadiyah terus maju dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Di era ini persyarikatan tidak mengalami tantangan dan hambatan yang berat dalam pergerakan, hingga berhasil membangun pusat-pusat keunggulan.
Universitas Muhammadiyah berdiri dengan megah hingga berkembang di seluruh Indonesia dan satu di Malaysia. Demikian pula rumah sakit, sekolah, pesantren dan masjid. Bahkan persyarikatan berhasil membeli masjid di Spanyol, Eropa, sebagaimana yang dilakukan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Tantangan muncul pada saat jabatan Jokowi sebagai presiden akan berakhir yaitu adanya tawaran bagi ormas untuk mengelola tambang. Muhammadiyah pun menyambut tawaran itu, sehingga timbul pro dan kontra di kalangan pimpinan ataupun anggotanya.
Masalah tambang tersebut mereda setelah pergantian pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo. Apalagi dengan masuknya kader-kader Muhammadiyah di dalam pemerintahan. Termasuk saat Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia.