Oleh: M. Mahmud
PWMU.CO – Sikap Muhammadiyah dalam politik adalah independen aktif. Muhammadiyah tidak berafiliasi pada partai politik tertentu, sesuai dengan amanat khittah Surabaya 1978. Tetapi kader Muhammadiyah harus proaktif dalam proses-proses politik di Indonesia.
Keterlibatan secara pro-aktif kader Muhammadiyah dalam pesta demokrasi tidak hanya dimaknai dalam urusan dukung mendukung calon, tetapi juga turut serta mereka membantu jalanya pemilu dengan baik.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 akan dilaksanakan untuk memilih Gubernur dan Wakilnya, Walikota dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya. Pemilihan ini dilaksanakan secara serentak di sejumlah Daerah yang ada di Indonesia.
Tanggal pelaksanaan Pilkada tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang tahapan dan Jadual pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024.
Berdasarkan surat tersebut, pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan tanggal 27 November 2024.
Menjelang Pilkada, banyak isu politik strategis yang muncul, seperti idependensi penyelenggara pemilu, netralitas, lembaga survei, ongkos politik yang mahal, polarisasi poitik, politik puritan, hoax, hingga politik identitas.
Banyak masyarakat mengira, bahwa ketika Muhammadiyah membahas urusan politik, terlebih urusan politik praktis, anggapan yang muncul akan cenderung negatif.
Ahmad Syafii Maarif, misalnya, menulis tentang teologi politik Muhammadiyah. Bagi Syafii Maarif, memahami politik dengan pendekatan teologi erat kaitanya perihal relasi antara agama dengan politik kenegaraan dalam perspektif Muhammadiyah.
Meskipun pengartikulasian akan teologi Muhammadiyah belum begitu mendapat porsi lebih untuk di kaji, Syafii Maarif pun berpendapat, bahwa pandangan Muhammadiyah akan politik kenegaraan itu sendiri menjadi persoalan penting.
Teologi yang secara jelas tidak bisa dilepaskan dari unsur agama, mau tidak mau harus di jadikan rujukan dasar oleh Muhammadiyah, kaitanya dengan politik(Maarif, 2015).
Bachtiar Efendy juga menganggap, bahwa hal yang harus diselesaikan Muhammadiyah sebelum jauh merumuskan perihal substansi keterlibatan Muhammadiyah dengan politik adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa politik itu sama mulianya dengan amal-amal usaha Muhammadiyah yang lain, seperti pendidikan, sosial, dan kesehatan, yang selama ini menjadi inti gerakan dalam amal usaha. (Efendy, 2015)
Achmad Jainuri, misalnya dalam pembahasan budaya politik, menganggap tidak akan bisa lepas dari tiga hal:
Pertama, sikap politik warga Muhammadiyah. Kedua, etika politik politisi Muhammadiyah. Ketiga mengenai tradisi politik Muhammadiyah. (Jainuri, 2015)
Bagi Jainuri, amal usaha politik manakalah yang akan terjadi adalah politik transaksional, praktis, dan uang, hanyalah akan bersifat kotradiktif dengan budaya amar ma’ruf nahi munkar. (Jainuri, 2015)
Haedar Nashir, dalam tulisanya “kompleksitas relasi Muhammadiyah dan politik” justru menganggap bahwa Muhammadiyah sudah memahami betul mengenai persoalan politik. Maka, ketika Prof. Amin Rais mengkategorikan urusan Politik menjadi dua, yakni politik yang bersifat umum, yakni urusan politik kebangsaan dan kenegaraan. Kemudian politik secara khusus, yakni urusan politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada kekuasaan. (Nashir, 2015)
Maksud dan tujuan Muhammadiyah itu sendiri, adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam yang sebenar-benarnya hingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Melalui prinsip dasar tersebut, klaim bahwa islam merupakan agama yang memiliki misi rahmat bagi seluruh alam perlu diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Konkretisasi perwujudan itu, yakni beragama dengan baik dan benar, ketika diletakkan dalam konteks rahmat bagi seluruh alam, cakupanya ternyata sangatlah luas. Maka kemudian KH. Ahmad Dahlan mengelaborasikan banyak hal dalam perumusan maksud dan tujuan tersebut, termasuk di dalamnya, pendidikan, kesehatan, sosial, kebudayaan, hingga urusan politik.
Muhammadiyah selaluh berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan bedasarkan Khittah perjuangan.
Khittah perjuangan Muhammadiyah merupakan kompas yang memandu langka organisasi Muhammadiyah dalam menjalankan misinya. Sebagai organisasi yang dinamis, Muhammadiyah secara berkala merefleksikan dan menyesuaikan khittahnya agar tetap relevan dengan tantangan zaman.
- Perkembangan zaman, perubahan sosial budaya, dan teknologi yang begitu cepat menuntut Muhammadiyah untuk terus beradaptasi.
- Dinamika masalah umat, masalah-masalah yang dihadapi umat islam terus berkembang, sehingga perlu pendekatan yang baru.
- Tujuan Muhammadiyah yang luas, diperlukan strategi yang terus di perbaharui.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun