Semangat Keagaamaan
Landasan iman inilah yang disebut dengan semangat keagamaan, sedangkan perjuangan senjata atau sosial pendidikan merupakan cara berjuang yang dilakukan berasaskan semangat keagamaan berdasarkan agama dan iman.
Berdirinya organisasi keagamaan tersebut membuat penjajah merubah strategi untuk menghalahkan umat Islam. Untuk melawan semangat keagamaan, maka penjajah Belanda mendirikan organisasi politik yang berideologi Marxisme-Komunisme dengan nama Indisceh Social Democratische Vereeniging ( ISDV) yang dipimpin oleh H.J.F.M.Sneevliet dan A.Baars pada tahun 1914 di Semarang.
Selanjutnya ISDV tersebut berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di samping itu kaum penjajah berusaha memecah persatuan umat Islam dengan membesar-besarkan perselisihan pandangan agama antar ormas-ormas Islam dengan membangkitkan perbedaan-perbedaan madzhab.
Diharapkan dengan demikian ormas Islam tidak akan bersatu untuk menghadapi penjajah, tetapi sibuk dengan pertentangan serta perselisihan antar mereka sendiri. Melihat keadaan demikian, maka pada suatu hari Kyai Haji Hasyim Asyari pada kongres ulama Nahdatul Ulama tahun 1935 di Banjarmasin berkata dalam pidatonya kepada para ulama.
“Wahai ulama-ulama yang telah ta’assub (fanatic) kepada setengah madzhab atau setengah “qaul ‘(pendapat ulama! Tinggalkanlah ta’assubmu dalam soal “furu”(ranting-ranting) itu! Dan tidak diridhai oleh Rasulullah saw apalah lagi jika pendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata ta’asshub dan berebut-rebutan dan berdengki-dengkian”.
Lebih lanjut beliau menyatakan: “Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar dan bermusuh-musuhan. Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina-menghinakan, pecah-memecahkan, padahal agama kita hanya satu belaka: Islam“.
Seruan KH.Hasyim Asyari ini mendapat tanggapan positif dari berbagai tokoh umat Islam, sehingga pada tanggal 21 September 1937, atas inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur dari organisasi Muhammadiyah, KH Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, dan Wondoasmiseno dari Persatuan Syarekat Islam Indonesia terbentuklah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) di Surabaya.