Oleh Muhsin MK
PWMU.CO – Di zaman serba digital ini, perilaku sebagian manusia semakin berubah dan kerap aneh. Berbeda dengan masa era manual, ketika orang masih memperhatikan agama dan budaya dalam berperilaku, kini mereka cenderung berbuat bebas, terbuka, dan sesuka hati.
Hal-hal yang menyangkut kehormatan diri dan keluarga kerap diabaikan. Bahkan, aurat dipertontonkan di hadapan publik.
Persoalan pribadi dan rumah tangga disebarluaskan dalam masyarakat, berharap agar perilaku mereka menjadi viral dan dikenal banyak orang, dengan tujuan meningkatkan popularitas.
Kehormatan diri seharusnya dijaga dengan sebaik-baiknya. Aurat, yang merupakan anugerah Allah dan privasi yang harus dipelihara, tidak selayaknya dipertontonkan dan diumbar ke publik. Termasuk pula aib pribadi dan orang lain yang tidak beradab jika diviralkan hanya untuk menjadi berita yang menghebohkan.
Demikian pula kehormatan keluarga, hubungan suami-istri, serta orang tua dan anak perlu dijaga dengan baik. Bila kehormatan ini tercoreng, tentu akan merusak citra dan nama baik pribadi, keluarga, serta rumah tangga.
Oleh karena itu, aib diri, keluarga, dan pasangan hidup dalam berumah tangga tidak selayaknya diviralkan dan disebarluaskan melalui media, baik secara sengaja maupun tidak.
Aib adalah sikap buruk atau perbuatan yang tidak menyenangkan pada diri seseorang. Keburukan yang dilakukan seseorang dapat menjadi aib jika diceritakan oleh dirinya atau orang lain untuk menjadi viral di masyarakat.
Misalnya, seseorang yang menceritakan hubungan intim dengan pasangannya kepada orang lain, itu adalah aib yang nyata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam orang yang membuka aib diri dan keluarganya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabdanya.
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seorang suami yang menyetubuhi istrinya, kemudian suami tersebut menyebarkan rahasia (aib) istrinya.” (HR. Muslim no. 1437).
Demikian pula aib seseorang yang melakukan kemaksiatan, seharusnya tidak diceritakan kepada orang lain. Karena aib itu sesungguhnya sudah ditutupi oleh Allah. Seseorang yang melakukan kemaksiatan di malam hari kemudian menceritakannya di siang hari kepada orang lain, itu berarti membuka aibnya sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya.
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat maksiat. Termasuk kemaksiatan seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, lalu di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya tersebut. Padahal Allah telah menutupinya.
Dia mengatakan, ‘Hai Fulan, semalam saya berbuat demikian dan demikian.’ Sepanjang malam Tuhannya telah menutup aibnya, tetapi ketika pagi hari dia justru membuka penutup yang telah Allah tutupkan padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebab Perceraian: Pasangan Selingkuh
Masalah perceraian, khususnya di kalangan selebritas, kerap diviralkan oleh diri mereka sendiri dan orang lain melalui media cetak, elektronik, dan media sosial. Hal ini berbahaya bagi mereka dan orang yang memviralkan, karena menyangkut aib diri seseorang.
Aibnya bukan pada perceraian itu sendiri, karena cerai diperbolehkan (QS. Al-Baqarah: 277) sebagai jalan keluar dalam masalah keluarga yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain. Adapun aibnya adalah ketika masing-masing pihak yang bercerai membuka keburukan mereka selama berkeluarga. Termasuk alasan yang menyebabkan perceraian tersebut, misalnya.
Pertama, menyatakan bahwa pasangannya selingkuh. Jika benar alasannya selingkuh, maka itu berarti membuka aib mereka sendiri, keluarga, dan rumah tangga.
Bagi yang memviralkan, mereka telah melakukan gibah, gosip, dan gunjingan yang dilarang agama (QS. Al-Hujurat: 12). Jika tuduhan selingkuh itu tidak benar, maka mereka yang memviralkan telah melakukan fitnah. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan (QS. Al-Baqarah: 191).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan bahaya gibah dan fitnah, sebagaimana sabdanya, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab Allah dan Rasul Nya yang lebih tahu”.
Beliau berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka didengar (diketahui) orang lain”.
Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?”
Jawab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah menghibahnya, jika tidak sesuai berarti engkau memfitnahnya”.(HR. Muslim no. 2589).