Namun, ijtihad juga melibatkan tafakkur atau perenungan mendalam, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Proses ini tidak hanya tentang menganalisis teks, melainkan juga tentang memahami maqashid syariah yang mencakup tujuan-tujuan moral dan etis di balik setiap hukum.
Muhammadiyah memiliki pengalaman mendalam saat melakukan pembaruan pemikiran Islam, termasuk dalam bidang fiqih. Dengan metodologi tarjih yang rasional dan terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, Muhammadiyah mungkin saja mempertimbangkan penggunaan AI sebagai bagian dari proses tarjih (pengambilan keputusan hukum). Namun, keputusan akhir tetap bergantung pada kebijaksanaan manusia, seperti yang diingatkan dalam salah satu kaidah ushul fiqih: “Di mana ada maslahat, di situ ada hukum Allah” (Maqashid Syariah).
Dalam konteks ini, AI bisa membantu mengidentifikasi maslahah (kemaslahatan umum), tetapi penafsiran tentang maslahat dan cara terbaik untuk mencapainya tetap harus berada dalam kendali manusia yang memahami kondisi sosial, politik, dan ekonomi suatu masyarakat.
Etika penggunaan AI terkait fatwa
Penggunaan AI dalam fatwa potensi menimbulkan pertanyaan etis. Ada kekhawatiran bahwa ketergantungan pada teknologi bisa menggantikan peran manusia secara berlebihan, bahkan dalam urusan agama. Namun, Islam mengajarkan keseimbangan dalam memanfaatkan teknologi, dengan mendasakan pada sabda Rasulullah SAW: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” (HR. Muslim) .
Hadis ini sering dijadikan dasar dalam memahami bahwa dalam urusan teknis, seperti penggunaan teknologi, umat manusia diberi kebebasan untuk bereksperimen dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, dalam urusan agama, norma-norma ilahiah tetap harus dipertahankan. Penggunaan AI, jika dimanfaatkan dengan bijak, dapat menjadi alat bantu yang memperkuat proses ijtihad, bukan menggantikannya.
Mitra ijtihad
Dengan segala potensinya, AI bisa menjadi alat bantu yang sangat berguna dalam proses pengambilan fatwa dan keputusan syariat, terutama dalam hal pengelolaan dan analisis data.
Namun, AI jangan sampai menggantikan peran ulama sebagai penjaga maqashid syariah. AI bisa dimanfaatkan untuk aspek teknis, sementara kebijaksanaan manusia tetap menjadi penentu dalam menjaga nilai-nilai Islam yang bersifat moral, etis, dan spiritual.
.Oleh karena itu, Muhammadiyah dan lembaga keagamaan lainnya perlu merangkul teknologi secara bijak. Tetap berkomitmen untuk memanfaatkan AI sebagai alat bantu semata dalam proses ijtihad. Teknologi modern bisa menjadi mitra ijtihad di era digital, selama nilai-nilai syariah tetap dijaga sebagai pedoman utama dalam kehidupan umat Islam.
Editor Notonegoro