PWMU.CO – Menteri pendidikan dasar dan menengah, Prof Abdul Mu’ti MEd memberikan penguatan terkait dakwah komunitas.
Hal itu disampaikan dalam kegiatan Silaturahmi Nasional (Silatnas) Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Aula Mitra Nusantara Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Jakarta, Selasa (12/11/2024).
“Tiga hal singkat saja, pertama kalau kita berbicara mengenai dakwah komunitas, bagaimana dakwah ini memiliki fokus atau segmentasi kelompok-kelompok tertentu. Sehingga dakwah menjadi lebih terarah, dan para da’i tidak sekedar ceramah,” jelasnya di hadapan 200 peserta silatnas.
Mu’ti lantas menjelaskan makna komunitas yang tidak bisa disamakan dengan sekedar kerumunan.
“Kalau kerumunan itu orang berkumpul tapi tidak memiliki ikatan yang kuat, sering kali disebut crowd. Sedangkan komunitas, community, mereka berhimpun dan memiliki ikatan yang kuat, karena memiliki persamaan yang kuat,” terangnya.
Di samping itu, Mu’ti juga mengaitkan komunitas dengan penyebutan umat dalam Al-Qur’an.
“Umat yang disebut 21 kali, itu dihubungkan dengan mereka yang punya kesamaan akidah, misalnya umat Islam, karena memiliki kesamaan akidah,” tuturnya.
Kedua, menurut Mu’ti komunitas yang berbasis primordial walaupun tidak murni primordial.
Ketiga, khairu ummah, sebagaimana istilah yang disebutkan di dalam Q.S. Ali Imran ayat 110.
“Ayat Muhammadiyah, wal takun minkum ummatun yad’uuna ilal khair, walaupun waltakun itu mufrod (tunggal), tapi yad’uuna itu jamak (bentuk plural). Jadi komunitas itu memiliki kohesi yang tinggi,” terangnya.
Menurut Mu’ti, Dakwah komunitas itu adalah sebuah proses dimana kita menghadirkan Islam sesuai dengan komunitas itu. karena jika mengikuti cara dakwahnya Rasul, maka cara dakwahnya adalah menyesuaikan siapa audiensnya. ‘وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ’, Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka (Q.S. Ibrahim ayat 4).
“Kalau komunitas nya berbahasa arab ya harus pakai Arab, kalau komunitasnya berbahasa Inggris ya harus pakai bahasa Inggris (dalam menyampaikan dakwahnya). Sehingga pesan itu bisa ditangkap karena penyampaian yang bisa diterima,” tuturnya.
Mu’ti memberikan contoh, jika berdakwahdi lapas, maka materinya harus bertujuan membangkitkan optimisme, bahwa betapapun orang berbuat dosa masih ada peluang menjadi manusia yang lebih baik. Begitu juga ketika berdakwah kepada remaja, maka materinya bisa tentang cita-cita yang tinggi dan pentingnya kesantunan.
“Jangan dakwah ke remaja itu tentang ingat mati, orang baru seneng-senengnya hidup kok disuruh ingat mati.,” terangnya.
Sehingga tidak ada mubaligh yang overall, Muballigh yang istilahnya ‘ala kulli syai’in qadiir, semua dia dan dimana-mana ceramahnya sama. Menurut Mu’ti, muballigh yang terlalu sering ceramah tidak sempat pengembangan dirinya.
Ia pun menambahkan, “Dakwah ke remaja jangan pakai Koko, koleksi lagunya jangan ya toyba, tapi naff akhirnya kumenemukanmu. Ada missionaris yang spesialisasi nya untuk remaja. Supaya dia bisa berbaur. Da’i kita kumpul remaja pakainya sarung,” ucapnya.
Mu’ti berinisiatif agar bisa jadi da’i itu dari nelayan juga. Karena rasul itu diangkat dari komunitas nya, bukan dari umat asing.
“Jadi kalau kita punya komunitas nelayan itu akan lebih bagus kalau da’i nya ya nelayan juga. Kalau da’i nya nggak pernah ke laut, itu da’i omdo,” tandasnya.
Penulis Ain Nurwindasari Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan