PWMU.CO – Peserta silaturahmi nasional (silatnas) Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendapatkan kesempatan bertemu dan menerima pembekalan secara langsung dengan menteri pendidikan dasar dan menengah republik Indonesia, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd terkait dakwah komunitas.
Abdul Mu’ti yang sebelumnya adalah sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa paradigma dakwah komunitas tidak harus di daerah terpencil.
“Bisa saja di kota metropolitan. Misalnya dakwah di bankir-bankir maka da’inya yang berangkat harus yang wangi-wangi (berpenampilan menarik),” ucapnya.
“Maka da’i itu tidak harus mereka yang membaca ayat terus menerus, tapi da’i yang bisa berbaur dengan komunitas yang didakwahi tersebut.”
Abdul Mu’ti juga menekankan pentingnya mengelola komunitas. Misalnya pembentukan muallaf center. Walaupun menurutnya selama ini umat Islam kadang-kadang melakukan glorifikasi terhadap orang yang baru masuk Islam. Padahal banyak saudara kita yang justru keluar dari Islam.
“Istilah muallaf tidak perlu kita definisikan ulang. Kalau ada orang masuk Islam sudah 20 tahun masak dia masih muallaf? Kalau orang masuk Islam karena sudah mempelajari Islam dan sudah yakin dengan Islam, masak dia muallaf? Kan imannya sudah tidak tergoyahkan,” ungkapnya.
Mu’ti mengatakan pembinaan terhadap komunitas harus membuat mereka semakin teguh. Misalnya komunitas nelayan, maka bisa jadi da’i itu dari nelayan juga.
“Jadi rasul itu diangkat dari komunitas nya, Rasul itu nggak boleh dari umat asing. Jadi kalau kita punya komunitas nelayan itu akan lebih bagus kalau da’i nya ya nelayan juga. Kalau da’i nya nggak pernah ke laut, itu da’i omdo,” katanya.
Mu’ti berkisah pernah ke Semarang ketika ia masih di pemuda Muhammadiyah daerah, ada lembaga pembinaan anak (LPA). Lalu ia dan kawan-kawannya mendirikan rumah singgah dan membina anak punk.
“Mereka masing-masing datang isinya batu dan senjata tajam. Begitu sudah akrab, pembinanya nggak boleh tidur di rumah, sehingga istrinya bingung karena anak-anak punk datang ke rumah dan datang ke rumahnya. Kira-kira pemetaan kita sudah sampai situ apa belum,” jelasnya.
Mu’ti menegaskan, “Da’i kepada guru honorer tidak sama dengan guru yang sertifikasi. Kalau guru honorer dakwahnya harus sabar, guru sertifikasi dakwahnya tentang bersyukur,” tandasnya.
Penulis Ain Nurwindasari Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan