Namun di balik kebanggaan itu ternyata juga meninggalkan luka di kalangan mayoritas kulit putih. Bangsa Amerika ternyata belum sepenuhnya siap untuk dipimpin dari orang non kulit putih, yang dianggap bagian dari minoritas. Dan sekali lagi, asumsi kuat itu masih ada bahwa non kulit putih adalah imigran yang tidak pantas memimpin negara warga kulit putih ini.
Ketidak senangan (displeasure) oleh sebagian besar warga kulit putih itu terwakili oleh sikap Donald Trump dan petinggi Republikan dengan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi dan bahkan menjatuhkan Barack Obama. Sebagai contoh, kala itu Donald Trump berupaya sekuat tenaga untuk menemukan akte lahir Obama karena dicurigai lahir di luar negeri. Bisa dimaklumi, ayahObama seorang warga Kenya yang pernah sekolah di Harvard University bersama ibunya.
Sentimen kebencian berbau rasisme oleh sebagian besar kulit putih terhadap Presiden Obama itu berhasil dieksploitasi Donald Trump untuk kampanye politik pada periode pertamanya. Sentimen rasisme menjadi salah satu faktor utama kemenangan Donald Trump saat itu. Dan pada Pemilu 2024 yang baru lalu, modal rasisme masih menjadi senjata andalan Donald Trump dalam melawan Kamala Harris. Walaupun tidak sevulgar ketika di pilpres periode pertamanya.
Kita masih ingat bahwa dalam pemilihan presiden di Amerika baru saat itu kandidat Donald Trump secara terbuka dan terang-terangan didukung oleh kelompok kristen radikal yang dikenal juga dengan KKK. Dan dukungan ini tidak juga diingkari oleh sang calon (Donald Trump) ketika itu.
Dengan terpilihnya Donald Trump di periode pertama itu kelompok ekstrim putih yang dikenal dengan “White Supremacist” semakin menggila. Jika dahulu mereka gemar meneror imigran dan kelompok minoritas lainnya secara prilaku sporadis di sana sini, kini mereka seolah mendapat justifikasi system. Tindakan rasisme kulit putih dan kekerasan yang biasa mereka lakukan seolah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Amerika.
Kearogansian ini disokong dengan beberapa kebijakan pemerintahan Donald Trump yang dinilai sangat anti non kulit putih ketika itu. Mulai dari kebijakan larangan bagi orang Islam (Muslim ban) dengan Executive Order I dan II, hingga kebijakan mendeportasi secara masif warga yang tidak bersurat (undocumented). Bahkan ada upaya untuk menghapus hak warga negara (citizenship) melalui kelahiran, penghapusan hak sponsorship untuk “immediate family” dan spousal sponsorship (sponsor suami-isteri).
Amerika sebagai pulau impian
Sejujurnya tidak ada seorang manusia yang mau meninggalkan tanah leluhurnya. Bahkan sesulit apapun itu, kecintaan kepada tanah kelahiran merupakan bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan. Nabi Muhammad SAW sendiri pun tidak mau untuk meninggalkan tanah kelahirannya Makkah jika bukan atas karena perintah Allah SWT.