Mengulik kembali kisah seorang Kiai Mukhid seperti halnya mendengarkan sebuah “dongeng”. Dongeng? Ya, dongeng ditengah maraknya berita guru yang dianiaya oleh muridnya. Atau seperti legenda dan mitos dikala banyak orang tua yang tidak peduli akan tingkah laku dan kesopanan anaknya.
Sebaliknya guru justru takut untuk menindak muridnya, karena akan berakhir dengan pelaporan kepada pihak kepolisian. Ujung-ujungnya, sang guru pula yang harus mendekam di balik jeruji besi.
Sebagai warga Muhammadiyah tulen, Kiai Mukhid secara optimal berusaha mengamalkan ilmu yangdiwarisi dari Kiai Haji Ahmad Dahlan. Salah satunya adalah teologi dan spirit Surat Al-Ma’un. Diantara hal penting dari surat Al-Ma’un tersebut adalah perintah untuk memperhatikan, menyayangi, serta menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim.
Meskia secara materi Kiai Mukhid tidak tergolong sebagai orang kaya, setiap menjelang akhir bulan Ramadhan beliau selalu mengadakan buka bersama serta santunan kepada janda-janda miskin dan anak yatim di Desa Bumiaji. Saat ia mendapatkan rizki meski sedikit, santrinya diminta untuk memberikan sembako kepada janda-janda miskin. Ini adalah aktualisasi keteladanan yang semakin langka.
Pesan Kiai Mukhid yang sering disampaikan di Madrasah, “Kabeh kudu bekti nang wong tuwo, sholat wajib lan tahajud ojo sampek ditinggalno, lan shodaqoh sak duwe-duwene gak kudu ngenteni sugih”. Nilai-nilai positif seperti ini juga sering ia tekankan kepada para warga Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan.
KH Abdul Mukhid dan Muhammadiyah
Kiai Mukhid dikenal sebagai sesepuh dan tokoh Muhammadiyah Batu. Dalam perjalanannya berkhidmah dalam Muhammadiyah, Kiai Mukhid pernah terpilih sebagai ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu periode 2001 – 2005. Ketika diamanahi sebagai ketua PD Muhammadiyah Batu, secara resmi Kiai Mukhid mendaftarkan Pondok Pesantren Al-Furqon, pesantren yang diasuhnya ke Kementerian Agama Kota Batu. Pesantren ini adalah hasil inisiasi antara sejumlah tokoh Muhammadiyah Bumiaji bersama alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura pada tahun 1984.
Awa, pesantren ini bernama Madrasah Diniyah Al-Furqon. Seiring berjalannya waktu, Madrasah tersebut bertransformasi menjadi sebuah pesantren. Namun, hingga Kiai Muchid berpulang ke rahmatullah, pengelolaan pesantren masih belum maksimal. Baru pada tahun 2020, ketika kepemimpinan pesantren beralih kepada Ustadz. H. Arif Saifudin, putra Kiai Mukhid, dan Ustadz Rahmad Azhar, Lc, pesantren Al-Furqon semakin berkembang. Kini pesantren hasil rintisan Kiai Mukhid itu telah menampung lebih dari 100 orang santri yang setiap harinya menghafalkan dan mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran.