Oleh: Nur Fitria
PWMU.CO – Pada era modern ini, pendidikan inklusif menjadi kebutuhan bagi seluruh jenjang pendidikan yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, baik di kota, di desa bahkan di daerah pelosok.
Akhir-akhir ini masalah belajar menjadi perhatian yang cukup serius, informasi tentang masalah ini masih simpang siur dan bahkan belum bisa dibedakan antara masalah belajar primer dan masalah belajar sekunder.
Bahkan masalah belajar ini bila ditelisik lebih lanjut, berawal dari keterlambatan bicara yang terjadi pada anak sejak usia dini. Gangguan belajar adalah kondisi kecacatan yang kasatmata, namun kita dapat melihatnya melalui pengamatan atau observasi selama anak menjalankan pembelajaran.
Dalam proses pembelajarannya, anak selalu menunjukkan kesalahan yang sama yang secara terus-menerus secara konstan.
Kesalahan yang ditunjukkan itu adalah kesalahan yang melebihi rata-rata anak seusianya. Penyebab dari gangguan belajar adalah neurologis dan genetik, artinya gangguan ini merupakan gangguan di dalam otak yang disebabkan karena faktor keturunan (Widyorini dan Maria, 2017).
Keterlambatan bicara adalah fenomena dalam dunia perkembangan anak-anak yang semakin hari jumlahnya tampak semakin banyak. Diperkirakan sekitar 7 persen anak usia sekolah dasar mempunyai masalah ini (Maria, 2016).
Pendidikan inklusif adalah system pendidikan yang mengikutsertakan semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk belajar bersama di sekolah umum.
Pendidikan inklusif didasarkan pada prinsip bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermakna tanpa diskriminasi.
Kebijakan ini mengacu kepada perundang-undangan yang berlaku ini Indonesia. UUD 1945 pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuakn khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Arriani dkk, 2022).
Di Indonesia pendidikan inklusif diatur dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.
Kunci utama yang menjadi prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif adalah bahwa semua peserta didik tanpa terkecuali dapat belajar dan perbedaan menjadi kekuatan dalam mengembangkan potensinya.
Prinsip umum lainnya dalam pendidikan inklusif adalah kehadiran peserta didik berkebutuhan khusus di kelas sehingga bisa berpartisipasi dan diterima di lingkungan satuan pendidikan.
Sejatinya sifat inklusif menjadi dalah satu sifat yeng melekat dalam kepribadian Muhammadiyah. Secara historis gagasan pendiri Muhammdiyah dalam pendidikan mencerminkan sifat yang inklusif.
Sesuai dengan cita-cita KH. Ahmad Dahlan, beliau mencetuskan pendidikan yang mengintegrasikan iman, akhlak, dan kemajuan.
Berkemajuan artinya menyesuaikan dengan jamannya, itu artinya pendidikan di Muhammadiyah mampu menjawab tantangan di setiap zamannya dalam memajukan umat yang berarti juga memajukan bangsa merupakan pilihan utama gerakan Muhammdiyah. Melalui pendidikan, Muhammdiyah berusaha menyatukan pendidikan agama dengan pendidikan formal melalui pendidikan yang modern.
Tujuannya adalah terciptanya generasi yang menguasai ilmu-ilmu non agama namun juga mendalami ilmu agama dan mampu memahami serta membaca al-Quran yang menjadi pedoman umat manusia.
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang peduli dengan pendidikan inklusif berkemajuan, menyediakan lembaga pendidikan dari usia dini hingga perguruan tinggi yang telah tersebar diseluruh penjuru negeri, dari kota besar hingga daerah pelosok, dari daerah barat hingga ujung timur, Muhammadiyah menyediakan lembaga pendidikan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang bahsa, agama, ras, maupun suku.
Muhammadiyah juga menyediakan beberapa lembaga pendidikan yang menyediakan pembalajaran yang sesuai dengan tuntutan pendidikan inklusif. Namun apakah pendidikan inklusif berkemajuan ini sudah merata di berbagai penjuru negeri, atau hanya tersedia di beberapa lembaga pendidikan Muhammadiyah yang berada di kota besara?
Pada kenyataannya, lembaga pendidikan Muhammadiyah di berbagai desa yang ada di jawa saja masih banyak yang belum menyediakan pembalajaran yang sesuai untuk pendidikan inklusif berkemajuan apalagi lembaga pendidikan yang berada di luar jawa.
Penyediaan tenaga pendidik yang memiliki keahlian dalam mengelola pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan inklusif masih belum merata.
Bahkan ada beberapa tenaga pendidik yang belum memahami apa itu pendidikan inklusif berkemajuan. Dengan adanya situasi seperti ini, kiranya Muhammadiyah kembali berbenah untuk menyediakan lembaga pendidikan inklusif yang merata pada lembaga pendidikan yang sudah didirikan Muhammadiyah sebagai perwujudan dari cita-cita pendiri Muhammadiyah.
Perlunya banyak strategi terutama pelatihan untuk tenaga pendidik serta pematangan sistem pendidikan menjadi langkah awal untuk mewujudkan pendidikan inklusif berkemajuan.
Sistem pendidikan yang seragam dari pusat, wilayah, daerah, cabang, hingga ranting merupakan kunci utama dari terselenggaranya program ini dengan baik. Dengan adanya acuan sistem yang seragam, menjadikan program ini bisa dijalankan diseluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sudah tersebar dipenjuru negeri, sehingga tidak terjadi ketimpangan pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan inklusif berkemajuan.
Menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mampu menjalankan visi dan misi yang sudah ditetapkan saat organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan 112 tahun silam.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun