Oleh Nurbani Yusuf – Pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar
Pagi subuh menjelang syuruq, Mbak Yu Riyati membatalkan tiba-tiba dzikirku. Padahal sudah saya niatkan untuk melakukan istighfar 1000 kali dan shalawat 1000 kali, kegiatan rutin yang biasa saya lakukan setiap bada shubuh.
Selanjutnya, secaa perlahan saya pun mendekat. Pelan-pelan saya menimpali dengan Bahasa Jawa yangmerupakan bahasa komunikasi sehari-hari dilingkungan: “Ono opo mbak Yu” (Ada apa Mbak).
Mbak Yu Riyati kemudian mengulurkan tangannya sambil berkata: “Aku titip buat beli meja masjid”.
Subhanallah wa alhamdulillah, Saya pun secara langsung melantunkan doa semoga dilimpahkan keberkahan amalan Mbak Yu Riyati. Sebelum dia meninggalkan tempat, aku sempatkan hitung terlebih dahulu uangnya. Total berjumlah Rp 1.450.000,00 (satu juta empat ratus lima puluh ribu) yang setara dengan harga satu meja yang sudah kami beli dengan mencicil.
Kebutuhan peralatan masjid memang agak mendesak. Mulai dari kebutuhan berupa kursi lipat, meja lipat, alat prasmanan, pagar pembatas, cat kayu, plitur yang mulai kusam hingga pengeras suara (sound system)yang diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp 250.000.000,00, bahkan lebih.
Mbak Riyati, Mbak Suwanti, Mbak Riyatin, Mbak Winarsih, Mbak Rustianik, Mbak Mami, Mbak Supami, Mbak Sugi, Mbak Sutiami, Mbak Sutiani, Mbak Tumiati merupakan anggota jamaah inti di Masjid Padhang Makhsyar. Mereka adalah para janda yang ditinggal mati suaminya.
Sebagaimana lazimnya kebanyakan orang kampung, mereka rata-rata bekerja sebagai buruh, kuli maupun babu. Mereka tidak tampak Istimewa jika dipandang dari profesinya, namun menjadi terasa sangat Istimewa karena kegigihannya untuk mendatangi serta ikut jamaah shalat ke masjid. Sebab itu pula saya pun tak berani tawarkan target penuh dalam ber-Muhammadiyah pada mereka, tentunya ber-Muhammadiyah yang menggunakan standar atau indikator para salaf saleh yang mulia. Kami hanya Muhammadiyah ‘nunut urep’, dan tidak lebih.
Janda-janda ini menjadi penyokong utama kehidupan Masjid Padhang Makhsyar. Disamping juga ibu-ibu Aisyiyah yang juga tak kalah gigih dan rajin berjibaku di Masjid Padhang Makhsyar, yang dalam berkegiatannya dihadiri tidak kurang dari 200 hingga 500 jamaah setiap pendak selapan.
Para janda Aisyiyah bahu-membahu dalam urusan konsumsi, mulai dari urunan menanak nasi, bikin lontong, ayam, kambing, sayur berbagai jenis kue maupun buah yang tak pernah telat. Mereka pula yang secara rutin untuk mengkhatamkan al Quran setiap bada Ashar di hari Jum’at Legi. Janda-janda ini sangat rajin hadir di pengajian yang diselenggarakan oleh Muhammadiyahyang ada di tingkat ranting, cabang maupun daerah. Mereka cukup dengan naik ojek, atau jika sedikit beruntung bisanaik mobil pick up, tidak sedikit pula yang memilih jalan kaki.
Jujur, sampai saat ini saya tidak tahu asal mula janda-janda ini mengenal Muhammadiyah. Mereka rata-rata hanya berpendidikan rendah, hanya lulus sekolah dasar dan ada beberapa malah tidak tamat.
Karena itu, sesungguhnya apa yang mereka cari? Dari sinilah kita memahami bahwa kebermaknaan dalam ber-Muhammadiyah memang berbeda-beda, setiap kita bisa menikmati dan berekspresi yang disuka sesuai selera. Tak ada paksaan harus begini atau jangan begitu.
Saya tidak perlu menilai ke-Muhammadiyahan mereka yang seperjuangan ini dengan Kemuhammadiyahan yang saya pahami. Para janda Aisyiyah di Padhang Makhsyar ini sebagian juga merupakan jamaah tahlil dan jamaah yasin yang rajin. Bahkan beberapa diantara mereka justru menjadi imamnya dalam kegiatan tahlil dan yasin.
Mereka tak pernah tahu, apalagi membaca Muqadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muhammadiyah. Yang pasti mereka tak pernah berebut untuk menjadi pimpinan, atau sekedar untuk bekerja dan menjadi pegawai di amal usaha. Penting untuk menjadi catatan, janda-janda ini sangat rajin untuk menyisihkan uang belanja dari upahnya sebagai buruh, babu dan kuli. Uang yang secara ikhlas mereka kumpulkan , dipergunakan untuk membeli alas shalat, untuk urunan beli mushaf al Quran, dan juga untuk membeli umbul-umbul bendera Muhammadiyah.(*)
Selamat Milad ke 112 Muhammadiyah
Editor Notonegoro