Kembali kepada Muhammadiyah, kembali kepada dakwah yang memberi dampak seluas-luasnya kepada bangsa, umat dan negara.. (Sumber foto detik.com).
Oleh Arif Yudistira (Pendidik di PPM MBS Yogyakarta, giat di Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah).
PWMU.CO – Robert W Hefner, seorang antropolog dan Indonesianis menyatakan, “pendidikan Islam terbaik di dunia saat ini, lahir dari Muhammadiya”.
Pujian Hefner itu bukan omong kosong. Muhammadiyah sejak kelahirannya memang mementingkan dan selalu menaruh perhatian terhadap pendidikan. Kiai Ahmad Dahlan sendiri sering mengatakan bahwa amal itu harus berlandaskan ilmu, ilmu itu harus diamalkan.
Gerakan keilmuan Muhammadiyah sendiri memang bisa ditilik dari spirit Kiai Dahlan yang menaruh perhatian terhadap pendidikan sejak pertama didirikan. Modernitas sebagai ciri gerakan Muhammadiyah memang sudah sejak awal dibarengi dengan gerakan keilmuan, gerakan pencerahan.
Agama Tanpa Akal akan Rusak
Kiai Dahlan yakin, tanpa akal, maka agama ini akan rusak. Kiai Dahlan meyakini, kalau umat Islam menggunakan akal dengan baik, niscaya beragama itu akan menggembirakan dan mencerahkan.
Itulah mengapa tujuan Muhamadiyah pada saat itu adalah “memadjukan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama Islam”. Kata pengadjaran dan peladjaran di Muhammadiyah memang menyatu dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak memisahkan antara gerakan ilmu dan gerakan dakwahnya.
Solichin Salam [1963] memberikan sekuel tentang narasi pendidikan Muhammadiyah pada periode awal. “Sebagai batu pertama dalam dunia pendidikan, perhatian beliau terutama ditudjukan kepada pendidikan kaum wanita. Karena wanita memegang peranan penting dalam rumah tangga. Beliau mendirikan sekolah darurat di serambi rumah beliau”.
Sekolah Kiai Dahlan ini pada waktu itu belum memiliki nama. Di sekolah ini semula beliau sendiri yang mengajar, kemudian banyak guru lain, dan diajarkan pendidikan agama dan umum. Pada 1913, sekolah pindah ke gedung baru yang berada di halaman depan rumah Kiai Dahlan. Kemudian sekolah ini diberi nama “Al Ismul Arqo”.
Berlanjut pada 1921 menjadi “Hooger Mohammadijah School”, dan pada 1923 menjadi “Kweekschool Islam”. Sesudah 1924, dipisah antara sekolah pria dan wanita. “Kweekschool Moehamadijah pria dan Kweekschool Moehammaijah wanita”. Baru saat 1932, menjadi “Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat” .
Gerakan Moehammadijah yang tidak melepaskan dari gerakan ilmu ini bisa dirujuk dan dilacak dari jejak dan pemikiran Kiai Dahlan. Kiai Dahlan memang belum banyak mencatatkan pemikirannya, namun beruntung Kiai Dahlan memiliki murid Kiai Haji Hadjid yang menulis 7 falsafah Kiai Dahlan.
“Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia harus mengerjakan apa? dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati”.
Met de Qur’an
Frase menggunakan “akal pikiran” bukan frase pasif. Kiai Dahlan bersama Moehammadijah kemudian mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat belia hingga perguruan tinggi adalah wujud dari gerakan dakwahnya yang terus berkibar hingga hari ini.
Masa-masa awal gerakan Moehammadijah adalah potret dari gerakan pendidikan Kiai Dahlan. Kiai Dahlan di masa awal berdirinya Moehammadijah memberikan pendidikan dan senantiasa memadukan antara agama dan akal dalam dakwahnya. Dakwah Kiai Dahlan yang berlatar di Yogyakarta pada waktu itu bersinggungan dan kerap mengalami konfrontasi dengan kepercayaan masyarakat di lingkungan sekitar keraton.
Masyarakat sekitar keraton selain masih mempercayai hal klenik dan mencampuradukkan syirik dengan tauhid, mereka pada waktu itu masih berada dalam kondisi yang bodoh dan belum ada pendidikan.
Kiai Dahlan dalam dakwahnya harus mendialogkan pikiran-pikirannya dengan kalangan keraton pada waktu itu juga kalangan masyarakat bawah yang masih diliputi kebodohan. Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah yang didirikan Kiai Dahlan bersama persyarikatan Muhammadiyah kala itu, masyarakat jadi mengenal pendidikan sekaligus mengenal agama berkat dakwah Muhammadiyah.
MT Arifin dalam bukunya Muhammadiyah: Potret Yang Berubah [2016] menyebut dakwah Kiai Dahlan atau metode pendidikan Kiai Dahlan adalah met de qur’an artinya pendidikan Kiai Dahlan adalah pendidikan yang didasarkan al-qur’an. Namun menggunakan metode modern yang dipengaruhi oleh pikiran Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Keyakinan serta falsafah pendidikan Kiai Dahlan itu yang kemudian dicatat serta dikembangkan melalui model sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan konsep keseimbangan yang memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama.
Pendidikan Qur’an dan Modern
Apa sebenarnya filosofi pendidikan Muhammadiyah?. Bila kita tilik dari sejarah Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah di masa awal, filosofi pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan Islam yang melandaskan pada qur’an dan sunnah.
Selain itu, Kiai Dahlan selalu menerapkan dan menegaskan bahwa pendidikan agama tidak boleh tidak harus menggunakan akal atau rasio sebagai alat yang diberikan Tuhan untuk menelaah dan menguji pemikiran dan praktik keagamaan.
Kedua, filosofi pendidikan di Muhamamdiyah sejak awal adalah modern. Sebagai Kiai yang visioner, Kiai Dahlan tidak menghiraukan cibiran, sindiran dan perlawanan terhadap dakwahnya.
Selama dakwahnya adalah rasional dan berlandaskan kebenaran. Tentu kita tidak lupa riwayat Dahlan yang dicerca dan dicibir masyarakat pada waktu itu yang menganggap Kiai Dahlan kentir dan kafir karena sekolahnya menggunakan meja dan kursi seperti penjajah Belanda.
Apa sejatinya muara dari pendidikan Muhammadiyah yang sangat indah itu?. Kiai Dahlan mengatakan, “teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah insinyur, dokter, meester, kembalilah kepada Muhammadiyah.”
Kembali kepada Muhammadiyah, kembali kepada dakwah yang memberi dampak seluas-luasnya kepada bangsa, umat dan negara. Inilah filosofi pendidikan Muhammadiyah.
Editor Danar Trivasya Fikri